Selasa, 23 Juni 2009

Asuransi Syariah

ASURANSI SYARI’AH

1.1 PENGERTIAN, DASAR HUKUM, SEJARAH &TUJUAN BERDIRI

1. Pengertian

Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang berarti “pertanggungan”. Dalam ensiklopedi hukum Islam disebutkan bahwa asuransi “al-Ta’min” adalah “Transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”.

Definisi Asuransi menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Pasal 1 adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri dengan pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang akan mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Sedangkan Asuransi Syari’ah secara umum dapat didefinisikan sebagai salah satu usaha asuransi yang dimaksudkan sebagai usaha atau kegiatan ekonomi proteksi bagi umat muslim.

A. Definisi Asuransi Syari’ah (Takaful)

1) Arti Kata Takaful

Secara bahasa, takaful تكافل berasal dari akar ( ك ف ل) yang artinya menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Pengertian ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Thaha ayat 40 dan QS. Al-Maidah ayat 85.

2) Arti Takaful dalam Pengertian Muamalah

Takaful dalam muamalah berarti saling memikul resiko diantara sesama muslim sehingga antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (dana tabarru’) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut. Takaful dengan pengertian seperti ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2.

Implementasi takaful sebagaimana digambarkan dalam hadis diriwayatkan:

Dari Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam.” (HR. Muslim)

B. Definisi Asuransi Syari’ah Menurut DSN

Asuransi Syari’ah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang sesuai dengan syari’ah yang dimaksud adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

Dalam asuransi syari’ah terdapat prinsip dasar yang menjadi acuan, yaitu:

1. Tauhid (unity), bahwa setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.

2. Keadilan (justice). Yaitu uapaya penampatan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi.

3. Tolong-menolong (ta’awun).

4. Kerja sama (Cooperation), yang merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi Islam.

5. Amanah (trustworthy/al-amanah). Dalam perusahaan asuransi dapat terlihat dalam nilai-nilai akuntabilitas perusahaan melalui laporan keuangan.

6. Kerelaan (al-ridha).

7. Lararangan riba

8. Larangan maisir (judi)

9. Larangan gharar (ketidakpastian)

2. Dasar Hukum

A. Al-Quran

Al-Quran tidak menyebutkan secara tegas ayat yang berkaitan dengan asuransi. Dalam hal ini tidak ditemukan istilah asuransi atau al-ta’min dalam al-Quran. Tetapi al-Quran masih mengakomodir ayat yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi itu sendiri, diantaranya:

1. QS. Al-Maidah: 2, yang memuat perintah tolong-menolong antarsesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan nasabah untuk menyisihkan dananya sebagai dana sosial.

… tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran …

2. QS. At-Taghaabun: 11, yang menegaskan bahwa segala musibah dan peristiwa dimasa depan tidaklah dapat diketahui manusia. Dalam bisnis asuransi hal ini dipelajari dalam bentuk manajemen resiko.

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…”.

3. QS. An-Nisa: 7, yang menjelaskan tentang waris-mewarisi. Dalam bisnis asuransi hal ini diterapkan dengan pembayaran klaim (santunan) bagi seorang nasabah asuransi kepada keluarga atau ahli waris yang ditinggalkan.

Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.

B. Sunnah Nabi

Dasar hukum asuransi berdasarkan sunnah Nabi dapat dilihat dalam berbagai riwayat berikut:

1. Hadis tentang aqilah:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janinnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah, maka Rasul memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya.” (HR. Bukhari)

2. Hadis tentang menghindari resiko:

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bertanya seseorang kepada Rasulullah saw tentang untanya: “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)?” bersabda Rasulullah saw: “Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakalah kepada Allah SWT”.

C. Piagam Madinah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi saw., dikalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang yang mengakui mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia yang lain. Kaum Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat diantara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang adil diantara mukminin”.

Demikianlah para suku yang ada di Madinah pada waktu itu diharuskan membayar uang darah dalam komunitas bersama bersandarkan pada doktrin aqilah sebagai peraturan konstitusi. Sebagaimana kontribusi tersebut akan dipertimbangkan sebagai bentuk lain dari pertanggungan sosial (social insurance).

D. Praktik Sahabat

Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah Umar bin Khatab. Pada suatu ketika Umar memerintahkan agar daftar (diwan) saudara-saudara muslim disusun pedistrik. “Orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan berhak menerima bantuan satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran ganti rugi atas pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka”.

E. Ijma

Para sahabat telah melakukan kesepakatan dalam hal ini (aqilah). Terbukti dengan tidak adanya pertentangan dari sahabat lain dengan praktek aqilah pada masa pemerintahan Umar bijn Khatab.

F. Syar’u Man Qablana

Dalam hal ini kebiasaan umat terdahulu tertuang pada praktek Aqilah yang juga dikisahkan dalam sunnah nabi. Yang pada prakteknya sama dengan asuransi di zaman sekarang.

G. Istihsan

Istihsan dalam pandangan ulama Ushul adalah memandang sesuatu itu baik . Dalam hal ini kebaikan aqilah terletak pada, bahwa ia dapat menggantikan balas dendam berdarah.

Selain dasar hukum tersebut, terdapat pula dasar hukum yang merupakan ikhtilaf para ulama yang membolehkan praktek asuransi. Beberapa pandangan mengenai asuransi yang ditinjau dari fiqh Islam tersebut diklasifikasi kedalam tiga kelompok, yaitu:

a. Pendapat pertama; Mengharamkan

Asuransi itu haram dengan segala macam bentuknya, termasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan adalah;

1) Asuransi sama dengan judi

2) Mengandung unsur-unsur yang tidak pasti.

3) Mengandung unsur riba/renten.

4) Mengandung unsur pemerasan karena pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi.

5) Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek riba.

6) Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.

7) serta, Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama hal nya dengan mendahului takdir Allah.

b. Pendapat kedua; Membolehkan

Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam fakultas Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Islam Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan, tidak ada nash yang melarang asuransi, ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak, saling menguntungkan kedua pihak, asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan dengan prinsip mudharabah (bagi hasil) seperti pada praktek koperasi (Syirkah Ta’awuniyah). Selain itu mereka menganalogikan (qiyas) asuransi dengan sistem pensiun seperti taspen.

c. Pendapat ketiga; Asuransi Sosial Boleh dan Komersil Haram

Pendapat ketiga ini dianut oleh Muhammad Abu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersil (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang menyatakan asuransi syubhat ini adalah karena tidak ada dalil yang menegaskan haram atau tidaknya asuransi itu.

3. Sejarah

Sejarah Asuransi

Konsep asuransi sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak jaman sebelum masehi dimana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain kekurangan bahan makanan. Salah satu cerita yaitu yang terjadi dimasa Mesir Kuno semasa Raja Firaun berkuasa. Suatu hari Raja bermimpi yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen berlimpah dan kemudian diikuti oleh masa paceklik 7 tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga Raja Firaun mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen 7 tahun pertama sebagai cadangan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat terhindar dari kelaparan.

Pada tahun 2000 SM para saudagar dan aktor Italia membentuk Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dari para anggota yang meninggal. Perkumpulan serupa yaitu Collegia Nititum, kemudian berdiri dengan beranggotakan para budak belian yang diperbantukan pada ketentaraan kerajaan Roma.

Pada zaman Alexander Agung (336-323 SM) ada usaha manusia yang mirip dengan asuransi, yaitu upaya kotapraja untuk mengisi kasnya dengan cara meminjam uang dari perseorangan dengan syarat “Jumlah uang pinjaman diberikan sekaligus kepada kotapraja oleh yang meminjamkan, misalnya 6000 drachmen. Setiap bulan kotapraja membayar sejumlah 50 drachmen kepada yang meminjamkan uang hingga ia wafat. Ketika ia wafat, kepada ahli warisnya atau keluarganya kotapraja akan memberikan 200 drachmen untuk biaya pemakaman”.

Pada zaman abad pertengahan, di Exeter, Inggris, ada kebiasaan diantara para anggota suatu “gilde” (perkumpulan dari orang-orang yang sama pekerjaannya) dijanjikan bahwa apabila rumah salah seorang anggota terbakar, maka kepadanya diberi sejumlah uang dana kepunyaan “gilde” tersebut.

Konsep asuransi ini berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat primitif yang berkelompok, dimana kebutuhan setiap kelompok dan suku ditanggung dan dipenuhi secara bersama dan kerjasama. Kemudian ketika keluarga dan suku tersebut hidup secara berpindah-pindah yang secara teori keluarga mulai menghadapi berbagai macam bahaya tanpa ada perlindungan dari kelompok, maka saat itulah mulai dirasakan perlunya perlindungan terhadap ancaman tersebut, yang kemudian sebagai unsur awal munculnya asuransi.

Sejarah Asuransi Syari’ah

Perkembangan asuransi dalam sejarah Islam sudah lama terjadi. Praktek asuransi Islam pertama kali dipraktekkan oleh Nabi Yusuf pada saat menafsirkan mimpi Raja Firaun. Praktek asuransi sendiri dalam budaya arab kuno dikenal dengan Al-Aqilah, yaitu jika salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku yang lain, keluarga korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Penutupan yang dilakukan oleh keluarga pembunuh itulah yang disebut aqilah. Praktek aqilah tersebut tetap diterima pada zaman Rasulullah dan menjadi bagian dari Hukum Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam riwayat hadis Nabi, yaitu:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janinnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah, maka Rasul memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya.” (HR. Bukhari)

Selain hadis tersebut, ada pasal khusus dalam konstitusi Madinah yang memuat semangat untuk saling menanggung bersama, yaitu pasal 3 yang isinya “Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah diantara mereka”.

Sebelum abad ke-14 asuransi telah dilakukan oleh orang-orang arab sebelum datangnya Islam. Orang-orang Arab yang mahir berdagang telah melakukan perdagangan di Negara lain melalui jalur laut. Untuk melindungi barang-barang dagangannya ini mereka mengasuransikannya dengan tidak menggunakan bunga dan riba. Praktek asuransi tersebut pun juga dilakukan oleh Nabi ketika melakukan perdagangan di Mekkah. Suatu ketika Nabi turut dalam perdagangan di Mekkah dan seluruh armadanya terpecah belah oleh suatu bencana, hilang di padang pasir. Kemudian para pengelola usaha yang merupakan anggota Dana Kontribusi membayar seluruh barang dagangan, termasuk harga unta dan kuda yang hilang, kepada para korban yang selamat dan keluarga korban yang hilang. Nabi Muhammad yang pada saat itu berdagang dengan modal dari Siti Khodijah juga telah menyumbangkan dana pada Dana Kontribusi tersebut dari keuntungan yang diperolehnya.

Kemudian pada pertengahan abad ke-20 di beberapa Negara Timur Tengah dan Afrika telah mulai mencoba mempraktekkan asuransi dalam bentuk takaful yang kemudian berkembang pesat hingga ke negara-negara penduduk non-muslim sekalipun di Eropa dan Amerika. Dan pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi syari’ah selain mengembangkan praktek tolong menolong juga memasukkan unsur investasi, yang prakteknya berjalan hingga sekarang.

4. Tujuan Berdiri

Tujuan berdirinya asuransi syari’ah pada dasarnya adalah memberikan alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk asuransi yang sesuai dengan hukum Islam. Sedangkan secara operasional dan kelembagaan, tujuan asuransi syari’ah sama dengan asuransi konvensional yaitu pengelolaan atau penanggulangan resiko.

1.2 PERBEDAAN ASURANSI SYARI’AH DENGAN ASURANSI KONVENSIONAL

Ada 7 perbedaan mendasar antara asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional. Perbedaan tersebut adalah:

A. Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. DPS tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.

B. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong, sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli.

C. Investasi dana pada asuransi syari’ah didasarkan pada bagi hasil (mudharabah). Sedangkan asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasi.

D. Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas mengalokasikan dananya.

E. Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru’.

F. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong diantara peserta jika terjadi musibah. Sedangkan asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari rekening dana perusahaan.

G. Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

1.3 BERBAGAI PRODUK DAN MEKANISME OPERASIONAL

Secara garis besar produk yang dikeluarkan oleh perusahaan Asuransi Syari’ah yang terkait dibagi menjadi dua, yaitu:

A. Produk asuransi syari’ah dengan unsur saving, seperti dalam produk yang dikeluarkan PT. Asuransi Takaful Keluarga; Takaful Dana Investasi, Takaful Dana Haji, dan Takaful Dana Siswa

B. Produk asuransi syari’ah non-saving, seperti dalam produk asuransi yang dikeluarkan PT. Asuransi Takaful Keluarga; Takaful Kesehatan Individu, Takaful Kecelakaan Diri Individu, Takaful al-Khairat Individu, dll.

Sedangkan mekanisme operasional dari produk tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

A. Sistem yang mengandung unsur saving

Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening Koran, giro, atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran, baik tiap bulan, kuartal, semester maupun tahunan.

Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu:

1. Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik peserta yang dibayarkan bila;

a. Perjanjian berakhir

b. Peserta mengundurkan diri

c. Peserta meninggal dunia

2. Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila;

a. Peserta meninggal dunia

b. Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)

Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syari’ah Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut prinsip al-Mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta.

B. Sistem yang mengandung unsur non-saving

Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dimasukkan dalam Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, dan dibayarkan bila:

a. Peserta meninggal dunia

b. Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)

Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syari’ah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip al-Mudharabah dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dan peserta.

1.4 PERATURAN HUKUM TERKAIT DENGAN ASURANSI

Secara stratifikasi peraturan terkait tentang usaha perasuransian dan perusahaan reasuransi, dapat dituliskan sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

2. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

3. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas PP No. 73 Tahun 1992

4. Keputusan Menteri Keuangan No. 223/KMK.017/1993 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

5. Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

6. Keputusan Menteri Keuangan No. 481/KMk.017/1999 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

7. Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMk.017/1993 tentang Perizinan dan PenyelenggaraanUsaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi

8. Kitab Undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu “Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.

Dasar hukum tersebut tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syari’ah, karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syari’ahnya. Maka pedoman untuk menjalankan usaha asuransi berdasarkan prinsip syari’ah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan asuransi syari’ah. Tetapi Fatwa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk itu dibentuklah peraturan perundang-undangan agar asuransi syari’ah memiliki kekuatan hukum, meskipun belum memberi kepastian hukum yang kuat. Peraturan tersebut antara lain:

1 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perijinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang menjadi dasar mendirikan asuransi syari’ah dalam Pasal 3 Keputusan Menteri menyebutkan bahwa

“… setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syari’ah …”.

2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syari’ah.

3 Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syari’ah.

1.5 PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ASURANSI SYARI’AH DI INDONESIA

Sejarah Asuransi Syari’ah di Indonesia

Munculnya asuransi syari’ah pertama kali di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi Takaful, yang dibentuk oleh holding company PT. Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada tahun 1994. Terbentuknya Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga perbankan syari’ah yang ada terlebih dulu, yakni Bank Muamalat karena asumsinya Bank Muamalat juga membutuhkan lembaga asuransi yang dijalankan dengan prinsip yang sama. Pembentukan awal Takaful disponsori oleh Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, dan Asuransi Jiwa TEPATI, yang dipimpin oleh direktur utama PT. STI, Rahmat Saleh sebagai langkah awal. Lima orang anggota TEPATI melakukan studi banding ke Malaysia pada September 1993, yang sudah menerapkan asuransi berprinsip syari’ah sejak 1985. Di negeri JIran ini asuransi syari’ah dikelola oleh Syarikat Takaful Malaysia Sdn. Bhd. Setelah berbagai persiapan dilakukan, di Jakarta digelar seminar nasional, dan berikutnya STI mendirikan PT. Asuransi Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Takaful Umum. Secara resmi, PT. Asuransi Takaful Keluarga didirikan pada 25 Agustus 1994, dengan modal disetor Rp. 5 milyar. Sementara PT. Asuransi Takaful Umum secara resmi didirikan pada 2 Juni 1995.

Setelah Asuransi Takaful Umum dibuka, selanjutnya sejumlah lembaga ikut mendirikan asuransi syari’ah, yakni Asuransi Syari’ah Mubarakah, Asuransi Jiwa Asih Great Eastern, MAA Life Insurance, Asuransi Bringin Jiwa Sejahtera, Asuransi Tri Pakarta, AJB Bumiputera, dan lain-lain. Yang terbaru, pada bulan September 2007, PT. Prudential Indonesia membuka unit syari’ah dengan meluncurkan INVESTASI & PROTEKSI SYARI’AH.

Perkembangan dan Pertumbuhan Asuransi Syari’ah di Indonesia

Perkembangan dan pertumbuhan asuransi syari’ah di Indonesia mengalami pencapaian yang baik, terlebih lagi ketika ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2003 tentang Perizinan bagi Pembukaan Perusahaan Asuransi dan Unit Usaha Syari’ah dari Perusahaan Konvensional, asuransi syari’ah di Indonesia mulai mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan hingga sekarang. Perkembangan pasca-KMK 2003, dalam waktu empat tahun saja lahir 40 perusahaan asuransi syari’ah. Artinya hampir setiap bulan ada satu unit usaha syari’ah yang diluncurkan

Perkembangan dan pertumbuhan asuransi syari’ah sendiri mengalami penacapaian yang cukup signifikan, seperti yang dikutip dari Artikel Republika (Wednesday, 26 December 2007)

Produksi premi asuransi syari’ah di Indonesia tahun 2008 diproyeksi mencapai Rp. 1 triliun lebih. Salah satunya dipicu signifikannya pertumbuhan bisnis syari’ah dalam beberapa tahun terakhir pada kisaran 60-70 persen. Hingga akhir tahun 2007, premi asuransi syari’ah diproyeksi meningkat mencapai angka Rp. 700 miliar dibandingkan premi serupa pada akhir 2006 Rp. 478 miliar. “Tahun 2006, premi asuransi syari’ah itu mencapai Rp. 478 miliar atau sekitar 1,11 persen dari industri. Akhir tahun 2007 ini, kemungkinan besar biasa menacapai Rp. 700 miliar atau pangsa 1,3 persen, dan tahun 2008 bila tumbuh minimal 50 persen, saya kira premi bisa mencapai angka psikologis Rp. 1 triliun koma sekian,” kata Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syari’ah Indonesia (AASI), Muhaimin Iqbal. Menurutnya juga, dalam beberapa tahun terakhir, industri asuransi syari’ah Indonesia mencatat presentase pertumbuhan signifikan di level 60-70 persen. Bahkan bila dibandingkan dengan pertumbuhan bisnis asuransi konvensional, pertumbuhan bisnis asuransi syari’ah jauh melampaui. “Di konvensional, tahun 2006 tumbuh minus lima persen, syari’ah tumbuh 73 persen. Tahun sebelumnya begitu, tumbuh 10 persen, di syari’ah 79 persen,” katanya. Muhaimin menyebutkan, faktor penyebab tingginya pertumbuhan bisnis syari’ah di Indonesia, salah satunya adalah banyak asuransi konvensional yang membuka cabang pada tahun 2007. Menurut data di Dewan Akuntansi Syari’ah, jumlah asuransi dan reasuransi untuk perusahaan lokal sudah ada sekitar 38 perusahaan, untuk perusahaan asing yang sudah membuka unit bisnis syari’ah seperti, PT. Asuransi Allianze, Manulife, Prudential, dan MAA Insurance. Sedangkan hingga akhir tahun 2006 dan 2005, asuransi syari’ah masing-masing hanya sebanyak 30 dan 26 buah. “Selain itu, optimisme proyeksi premi tahun 2008 tercapai karena tahun 2008 diproyeksi terdapat 8 hingga 10 pemain baru. Diantaranya tiga hingga empat cabang asuransi kerugian syari’ah,” katanya.

Setidaknya pada saat ini perkembangan asuransi sangat bergairah. Sampai akhir tahun 2007 ini ada sepuluh perusahaaan asuransi yang mendaftar untuk mendirikan cabang asuransi syari’ah. Yang jika tidak ada halangan awal tahun 2008 ini, izin-izin tersebut akan cair. Seperti yang diungkapkan Isa Rachmatawarta, Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam LK).

1.6 DAMPAK PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ASURANSI SYARI’AH TERHADAP PEREKONOMIAN UMAT

Dengan semakin berkembangnya usaha asuransi syari’ah di Indonesia, dengan sendirinya akan berdampak pada perkembangan perekonomian di Indonesia. Yaitu:

  1. Berkembangnya unit usaha kecil dan menengah, serta pembangunan karena adanya asupan dana investasi dari perusahaan asuransi syari’ah yang terkait.
  2. Dengan banyak perekrutan agen asuransi, secara otomatis akan menekan angka pengangguran.
  3. Bertambahnya pendapatan bagi setiap individu.
  4. Bertambahnya kemampuan belanja setiap individu, yang berdampak pula pada peningkatan pada angka pertumbuhan produksi.
  5. Dengan perkembangan dan pertumbuhan tersebut, baik bagi individu maupun perusahaan, akan berdampak pula penambahan pemasukan bagi Negara.

1.7 PROSPEK, KENDALA DAN STRATEGI PENGEMBANGANYA

Prospek

Dengan banyaknya institusi konvensional yang melirik system syari’ah, maka akan berdampak pula pada perkembangan dan kemajuan institusi syari’ah terkait. Hal ini didasari pada pangsa pasar Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islam. Dengan demikan, institusi syari’ah dapat mengalami perkembangan dimasa mendatang, seperti perkembangan yang terjadi pada pertumbuhan institusi perbankan.

Sama hal nya dengan perbankan, unit asuransi pun juga dapat mengalami perkembangan dengan melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia. Prospek asuransi syari’ah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun kedepan diperkirakan Indonesia bisa menjadi Negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan asuransi syari’ah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang asuransi syari’ah bisa mencapai 10 persen market share asuransi konvensional. Data dari asuransi syari’ah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan ekonomi syari’ah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen.

Kendala

Hampir empat belas tahun sudah sejarah asuransi syariah di Indonesia. Bermula dari pergerakan dua perusahaan asuransi syariah, selam sembilan tahun sesudahnya tidak ada pergerakan yang berarti. Tetapi ketika dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2003 tentang Perizinan bagi Pembukaan Perusahaan Asuransi dan Unit Usaha Syari’ah dari Perusahaan Konvensional, asuransi syari’ah di Indonesia mulai mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan hingga sekarang.

Perkembangan pasca-KMK 2003, dalam waktu empat tahun saja lahir 40 perusahaan asuransi syari’ah. Artinya hampir setiap bulan ada satu unit usaha syari’ah yang diluncurkan. Besaran modal yang dipersyaratkan bagi sebuah unit usaha syari’ah sangat rendah, Rp. 2 miliar saja, dan mendapat izin dalam waktu yang relatif singkat, sekitar tiga bulan sejak pertama kali diajukan. Disatu sisi kemudahan ini memberi dampak yang baik terhadap pertumbuhan asuransi syari’ah, tetapi memiliki dampak yang negative dimana tidak terjadinya seleksi dalam tahap perizinan, terutama seleksi terhadap komitmen pemegang saham untuk sungguh-sungguh terjun dalam industri ini. Sehingga berdampak pada tidak dicurahkannya sumber daya yang memadai bagi unit yang baru mereka miliki.

Selain itu, kendala yang dihadapi perusahaan asuransi syari’ah di Indonesia adalah dari faktor minimnya regulasi yang ada. Minimnya regulasi berdampak pada lebarnya ketidakpastian dalam berusaha. Ini yang membuat investor masih belum berani mengucurkan modal yang besar dan sumber daya lainnya. Satu hal lagi yang membuat regulasi menjadi prioritas utama, adalah fakta bahwa asuransi syari’ah beroperasi diatas konsep dasar yang berbeda dengan asuransi konvensional. Asuransi syari’ah menggunakan konsep risk sharing (berbagi resiko antar peserta), sementara asuransi konvensional memakai konsep risk transfer (memindahkan resiko pada perusahaan asuransi). Memaksa menetapkan regulasi konvensional tidak akan cocok untuk asuransi syari’ah meski unutk sementara waktu. Karena hanya akan menimbulkan kerancuan dan kontradiksi.

Dari segi permodalan, asuransi syari’ah di Indonesia masih sangat minim. Agar perusahaan dapat survive perusahaan asuransi mebutuhkan modal sekitar 50 miliar, tetapi idealnya dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 110 miliar. Selain itu, walaupun banyak manfaat yang diberikan perusahaan asuransi syari’ah, tetapi budaya berasuransi masyarakat masih minim, dilatarabelakangi dari minimnya pula promosi yang dilakukan perusahaan. (Seperti yang diungkapkan Sugeng Sudibyo, Kepala Divisi Syari’ah, PT. Bringin Life).

Ketua Islamic Insurance Society (IIS) Syakir Sula mengatakan saat ini sudah terdapat hampir 200 perusahaan syari’ah yang berkembang di seluruh dunia, terutama di Eropa, Amerika SErikat, Australia, dan Jepang. Negara-negara modern tersebut lebih menyukai konsep syari’ah karena lebih menguntungkan, lebih banyak variasi, tidak akan pernak terkena negative spread, aman, serta beresiko rendah karena didasarkan pada konsep risk sharing. Bisnis asuransi syari’ah di Negara maju tersebut langsung berskala besar dan maju lebih pesat, hal ini karena didorong faktor; secara bisnis mereka lebih dulu ada, mempunyai teknologi yang mapan, dan besaran permodalan yang memadai.

Sedangkan perkembangan asuransi syari’ah dinegara mayoritas Muslim kurang berkembang, karena minimnya pengetahuan. Di Saudi Arabia masih ada perdebatan mengenai asuransi jiwa. Mereka menganggap di zaman Nabi konsep seperti itu tidak ada. Mereka juga masih mengacu pada al-Quran, dimana pengetahuan asuransi syari’ah dalam bahasa Arab masih sangat minim. Mereka masih ragu mengenai unsur gharar, riba, maisir dalam asuransi syari’ah. (Syakir Sula, Ketua Islamic Insurance Society (IIS))

Selain kendala diatas, masih terdapat kendala lain yang masih menjadi wacana pada tahun 2008 ini, yaitu:

· Peraturan tahun 2008 yang menyebutkan “Lisensi agen perusahaan asuransi harus berstatus penuh (sertifikasi agen)”. Dalam setiap perusahaan asuransi seorang agen baru bisa memasarkan produk asuransi jika dia telah memiliki sertifikasi penuh. Dimana ujian lisensi untuk sertifikasi agen asuransi dikanakan biaya Rp. 350.000/agen.

· Penundaan Penerbitan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi Asuransi Syari’ah yang seharusnya terbit pada akhir 2007. PSAK tersebut sangat dibutuhkan sebagai acuan standar pelaporan keuangan asuransi syariah, sehingga nasabah mudah membaca dan mengetahui perkembangan keuangan perusahaan asuransi terkait. Karena standar akuntansi asuransi syari’ah yang digunakan sekarang, berdasarkan Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institution (AAOIFI), tidak lengkap. Standar AAOIFI memang mengatur asuransi syari’ah tetapi lebih banyak untuk Perbankan Syari’ah.

Sedangkan hambatan pengembangan asuransi syari’ah di Indonesia, dari sisi mekanisme operasional yaitu:

· Instrumen tidak dikenal masyarakat luas

· Anggapan masyarakat Indonesia tentang pengurusan klaim asuransi yang menyulitkan

· Instrumen asuransi masih kalah bersaing dengan instrumen investasi seperti surat berharga

· Asuransi syari’ah belum tersosialisasikan luas seperti perbankan syari’ah.

Strategi Pengembangan

· Strategi pengembangan perusahaan asuransi syari’ah akan berkembang baik jka membidik pasar variety seeking behavior, yaitu kelompok yang biasa membeli produk link, usia antara 35-55 tahun, memiliki cash flow sendiri dan tertarik pada investasi. Jadi, jangan hanya bermain pada pasar loyalis (Conventional Loyalist dan Sharia Loyalist) dan young ethical (kelompok yang tidak terlalu fokus pada pendapatan investasi, namun cukup semangat pada pengembangan asuransi syari’ah). (Ir. H. Adiwarman A. Karim SE, MBA, Presdir Karim Business Consulting)

· Perkembangan asuransi syari’ah bergantung pada tiga hal. Pertama, pilihan individu. Kedua, keaktifan pemain asuransi syari’ah. Ketiga, dukungan dari pemerintah sebagai regulator untuk kesediaan aturan berbasis syari’ah. (Syahrir Hamzah, Presiden Direktur Asuransi Tugu). Jka terdapat kombinasi yang baik dari ketiga faktor tersebut maka asuransi syari’ah dapat berkembang dengan baik.

Peluang Pengembangan Asuransi Syari’ah di Indonesia

· Asuransi syari’ah merupakan alternative pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam.

· Perkembangan Perbankan Islam menuntut peranan asuransi syari’ah untuk pengamanan asset dan transaksi perbankan.

· Beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan Asuransi Syari’ah adalah ditetapkannya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syari’ah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, 2004, Jakarta: Prenada Media

FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 21/DSN-MUI/X/2001 TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH


\



by 4215 AR

1 komentar:

  1. BERLAKU UNTUK KREDIT ANDA

    Apakah Anda seorang pengusaha atau wanita? Apakah Anda stres keuangan? Anda perlu uang untuk memulai bisnis Anda sendiri? Apakah Anda memiliki pendapatan rendah dan sulit untuk mendapatkan pinjaman dari bank lokal dan lembaga keuangan lainnya? Jawabannya ada di sini, MichelleN Haward Kantor Pinjaman adalah jawaban untuk menawarkan semua jenis pinjaman kepada masyarakat atau siapa pun di Nees bantuan keuangan. Kami memberikan pinjaman sebesar 2% suku bunga untuk individu, perusahaan dan perusahaan di bawah kondisi yang jelas dan mudah. hubungi kami hari ini via e-mail di michellenhawardloans@gmail.com

    Catatan: Semua pemohon harus di atas 18 tahun

    BalasHapus