Jumat, 26 Juni 2009

Hukum Kontrak

Pembahasan
A. PENGANTAR
Pada dasarnya kontrak yang dibuat oleh para pihak itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, kontrak yang dibuat oleh para pihak harus disamakan dengan undang-undang. Oleh karena itu, untuk membuat kontrak diperlukan ketelitian dan kecermatan dari para pihak, baik dari pihak kreditur maupun debitur, pihak investor[1] maupun maupun dari pihak Negara yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para pihak yang akan mengadakan dan membuat kontrak adalah:
v Kewenangan hukum para pihak,
v Perpajakan,
v Alas hak yang sah,
v Masalah keagrariaan,
v Pilihan Hukum,
v Penyelesaian Sengketa,
v Pengakhiran kontrak,
v Bentuk Perjanjian Standar.
1. Kemampuan para pihak
Kemampuan para pihak yaitu kecakapan dan kemampuan para pihak untuk mengadakan dan membuat kontrak. Didalam KUHP Perdata ditentukan bahwa orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum apabila telah dewasa dan sudah kawin, ukuran kedewasaan yaitu 21 tahun. Sedangkan orang-orang yang tidak wenang untuk membuat kontrak adalah:
Minderjarigheid[2] (di bawah umur),
Curatele (di bawah Pengampunan),
Istri (Pasal 1330 KUH Perdata).

2. Perpajakan
Para pihak pembuat kontrak menginginkan perjanjian dirumuskan sedemikian rupa untuk memperkecil pajak. Karena transaksi bisnis merupakan transaksi kena pajak, pada dasarnya perancang kontrak yaitu para ahli hukum harus memberikan pelayanan yang memuaskan para kliennya. Akan tetapi, dalam hal memperkecil pengenaan pajak, bukan tidak mungkin rumusan kontrak itu menjadi lain dari maksud para pihak yang sesungguhnya. Oleh karena itu, ahli hukum perancang kontrak harus memahami masalah per;pajakan dan jika mungkin bekerja sama dengan konsultan pajak.
3. Alas Hak yang Sah
Khusus untuk perjanjian jual beli, calon pembeli harus mengetahui atau berusaha mencari tahu bahwa penjual memang mempunyai alas hak yang sah atas barang yang dijual. Dalam hal barang bergerak tidak atas nama berlaku ketentuan pasal 1977 KUH Perdata yang menetapkan bahwa barang siapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus dibayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemilik sepenuhnya.
4. Masalah Keagrariaan
Perancangan perjanjian juga harus memperhatikan masalah seputar Hukum Agraria[3]. Dalam banyak hal para pihak tidak memahami masalah-masalah Keagrariaan. Oleh karena itu, para ahli hukum harus memberitahukan kepada kliennya mengenai hal tersebut.
5. Pilihan Hukum
Pilihan Hukum, yaitu berkaitan dengan hukum manakah yang akan digunakan dalam pembuatan kontrak tersebut.
6. Penyelesaian Sengketa
Perjanjian tidak selalu dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dalam setiap perjanjian perlu dimasukan klausula mengenai penyelesaian sengketa apabila salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian atau wanprestasi[4]. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai, abitrase atau mungkin melalui Pengadilan.
7. Berakhirnya Kontrak
Di dalam Pasal 1266 KUHP ditentukan Bahwa: “Tiap-tiap pihak yang akan mengakhiri kontrak harus dengan putusan pengadilan yang mempunyai yurisdiksi atas kontrak tersebut”. Maksud ketentuan ini adalah melindungi pihak yang lemah.
8. Bentuk Standar Kontrak
· Pengertian Standar Kontrak
Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.
Mariam Darus Badrul Zaman mengemukakan bahwa standar kontrak merupakan perjanjian yang telah dibakukan, selanjutnya dia mengemukakan cirri-ciri perjanjian baku adalah:
1) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.
2) Masyarakat debitur sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.
3) Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
4) Bentuk tertentu (Tertulis).
5) Dipersiapkan secara missal dan Kolektif[5].
Dari uraian diatas jelaslah bahwa hakikat dari perjanjian baku adalah perjanjian yang telah distandardisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atu menolak isinya, Apabila debitur menerima isi perjanjian tersebut maka ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak maka perjanjian itu dianggap tidak ada.

· Jenis-jenis Standar Kontrak
Secara kuantitatif, jumlah standar kontrak yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sangat banyak, karena masing-masing lembaga atau perusahaan baik yang bergerak dibidang perbankan dan non bank maupun lainnya, selalu menyiapkan standar baku dalam mengelola usahanya. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum. Hondius mengemukakan bahwa dewasa ini terdapat Syarat-syarat baku, diahampir semua bidang yang dibuat kontrak. Mariam darus Badrulzaman membagi jenis perjanjian baku menjadi empat jenis, yaitu sebagaimana berikut:
1) Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukanoleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu.
2) Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian bakuyang terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur)[6].
3) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.
4) Perjanjian baku yang ditentukan dilingkungan notaris atau advokat, yaitu perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaries atay advokat yang bersangkutan.
B. Prinsip-prinsip dalam Penyusunan kontrak
Di dalam mempersiapkan kontrak, ada dua prisip hokum yang harus diprhatikan yaitu,
· Beginselen der contrachtsvrijheid atau party autonomy,
· Pacta sunt servanda.
Pengertiannya adalah dimana para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan, dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan. Untuk menghidari ketidakjelasan maksud para pihak maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah eksekutif perusahaan harus menjelaskan sejelas jelasnya kepada mereka yang terlibat dan bertugas melakukan transaksi. Sedangkan kewajiban pertama ahli hukum adalah mengkomunikasikan kepada kliennya mengenai apakah yang telah dirumuskannya tersebut sudah sesuai dengan keinginan kliennya.
Prinsip Pembuatan Kontrak
· Kontrak yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuat. (ps. 1338 KUHP)
· Suatu perjanjian hanya mengikat tentang hal-hal yan diperjanjikan.
(MA.539K/Sip/73)
· Kontrak sah jika memenhi Syarat-Syarat Sbb.
1. Kesepakatan para pihak
2. Cakap melakukan tindakan hukum
3. Hal tertentu (objeknya)
4. Causa yang halal (ps. 1320 KUHP)

Hal-hal yang harus dikuasai
· Hukum Kontraknya
· Materi/subtansi hukum yang akan diatur
· Penguasaan bahasa hukum
· keterampilan merancang & menganalisa

Kesalahan dalam kontrak
· Berbagai kekosongan,
· Pengertian semu,
· Pengertian ganda,
· Tidak nyambung,
· Tidak mencukupi dll.

C. Pra Penyusunan Kontrak
Sebelum kontrak disusun,ada empat hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, keempat pihak itu yakni identifikasi para pihak, penelitian aspek terkait, pembuatan Memorandum Of Understanding (MOU)[7] dan Negoisasi.
1) Identifikasi para pihak
Para pihak dalam kontrak harus teridentifikasi secara jelas, perlu diperhatikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan terutama tentang kewenangannya sebagai pihak dalam kontrak yang bersangkutan, dan apa yang menjadi dasar kewenangannya tersebut. Disamping itu juga perlu diperhatikan syarat yang harus dipenuhi terutama dalam kaitan dengan tindakan sebagai wakil dari badan hukum.
2) Penelitian awal aspek Terkait
Pada dasarnya pihak-pihak berharap bahwa kontrak yang ditandatangani dapat menampung semua keinginannya, sehingga apa yang menjadi hakikat kontrak benar-benar terperinci secara jelas. Penyusunan kontrak harus menjelaskan hal-hal yang tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis, serta alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada akhirnya penyusun kontrak menyimpulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, memperhatikan hal terkait dengan isi kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, serta perpajakan.
3) Pembuatan Memorandum Of Understanding (MOU)
MOU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional Indonesia, tetapi dalam praktik sering terjadi, pada hakikatnya MOU merupakan suatu perjanjian pendahuluan dalam arti akan diikuti perjanjian lainnya, alasannya dapat dikemukakan sebagaimana berikut:
v Dalam prospeknya belum jelas untuk menghindari kesulitan pembatalan dibuat MOU yang relatif lebih mudah dibatalkan.
v Dalam penandatanganan kontrak memerlukan waktu yang lama, sehingga dibuat MOU yang akan berlaku sementara waktu.
v Adanya keraguan para pihak dan memerlukan waktu untuk berfikir jika menandatangani kontrak maka untuk sementara dibuat MOU.
Ciri-ciri MOU adalah:
ü Isinya singkat berupa hal pokok.
ü Merupakan pendahuluan, yang akan diikuti suatu kontrak terperinci.
ü Jangka waktunya terbatas.
ü Biasanya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk adanya kontrak terperinci.
4) Negoisasi
a) Pengertian negoisasi
Negoisasi merupakan sarana bagi para pihak untuk mengadakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan sebagai akibat adanya perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal dan dilatarbelakangi oleh kesamaan/ketidaksamaan kepentingan diantara mereka.
b) Jenis-jenis Negoisasi.
Ada dua jenis corak negoisasi, yaitu Position bargainer (Lunak) dan hard Position (Keras). Ini banyak dilakukan dilingkungan keluarga, antara sahabat, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk membina hubungan baik. Kelebihan corak ini cepat menghasilkan kesepakatan, namun mengandung resiko, yakni memungkinkan pola menang-kalah, sedangkan hard position bargainer sangat mungkin menemui kebutuhan akibat adanya tekanan, serta ancaman, terutama jika terbentur pada situasi saat bertemu perunding keras sesama perunding keras lainnya. Corak perpaduan itu menekan pada pentingnya pemisahan antara orang dan masalah, memfokuskan serangan pada permasalahan, dan bukan pada orang serta mengandalkan adanya pilihan.
D. Tahap Penyusunan
Dalam membuat suatu kontrak biasanya dilakukan dengan melalui beberapa tahap dimulai sejak adanya pembicaraan awal para pihak hingga selesainya kontrak. Ada lima tahap dalam penyusunan kontrak di Indonesia, walaupun tidak selamanya terjadi, tetapi kadang-kadang suatu kontrak didahului oleh nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU). Setelah penandatangan MoU (kalau ada), selanjutnya dilakukan langkah-langkah atau tahap-tahap berikut.[8]
1. Pembuatan draft pertama;
2. Pertukaran draft kontrak
3. Revisi (jika perlu)
4. Penyelesaian akhir
5. Penandatangan para pihak
Tidak semua kontrak tertulis harus melalui tahap tersebut, karena dapat saja terjadi bahwa hanya satu pihak yang membuat draft kontrak kemudian diserahkan kepada pihak lain untuk mencermati apa-apa yang masih perlu diperbaiki (ditawar) oleh pihak lainnya, kemudian diadakanlah perbaikan-perbaikan seperlunya hingga terjadi kesepakatan mengenai seluruh klausul yng terdapat dalam draft kontrak tersebut.
Salah satu tahap yang menentukan dalam pembuatan kontrak, yaitu tahap penyusunan kontrak. Penyusunan kontrak ini perlu ketelitian dan kejelian dari para pihak maupun para notaris. Karena, apabila keliru didalam pembuatan kontrak maka akan menimbulkan persoalan didalam pelaksanaannya. Ada lima tahap dalam penyusunan kontrak di Indonesia, sebagaimana dikemukakan berikut:
1) Pembuatan draf pertama, yang meliputi:
a. Judul Kontrak
Dalam kontrak harus diperhatikan kesesuaian isi dengan judul serta ketentuan hukum yang mengaturnya, sehingga kemungkinan adanya kesalahpahaman dapat dihindari.
b. Pembukaan
Biasanya berisi Tanggal pembuatan kontrak
c. Pihak-pihak dalam kontrak
Perlu diperhatikan jika pihak tersebut orang pribadi serta badan hukum, terutama kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum dalam bidang kontrak.
d. Racital
Yaitu penjelasan resmi/latar belakang terjadinya suatau kontrak.
e. Isi Kontrak
Bagian yang merupakan inti kontrak. Yang memuat apa yang dikehendaki, hak dan kewajiban termasuk pilihan penyelesaian sengketa.
f. Penutup
Memuat tata cara pengesahan suatu kontrak.
2) Saling menukar draf kontrak.
3) Jika perlu diadakan revisi.
4) Dilakukan penyelesaian akhir.
5) Penutup dengan penandatanganan kontrak oleh masing-masing pihak.
E. Struktur dan Anatomi Kontrak
Ada tiga bagian utama dari kontrak, khususnya kontrak bisnis, yaitu (1) bagian pendahuluan, (2) isi, dan (3) penutup.
Bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian, yaitu:
1. Subbagian pembuka (description of the instrument)[9].
2. Subbagian pencantuman identitas para pihak (caption).
3. Subbagian penjelasan
Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi, sebagai berikut:
1. Klausul definisi (definition)[10]
2. Klausul transaksi (operative languange)
3. Klausul spesifik
4. Klausul ketentuan umum
Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup, yaitu:
1. Subbagian kata penutup (closing).
2. Subbagian ruang penempatan tanda tangan.
Pada dasarnya, susunan dan anatomi kotrak, dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Ketiga hal itu dijelaskan berikut:
1) Bagian Pendahuluan
Dalam bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian.
Ø Bagian Pendahuluan.
Sub bagian ini memuat tiga hal berikut:
Sebutan atau nama kontrak dan penyebutan selanjutnya (penyingkatan) yang dilakukan.
Tanggal dari kontrak yang dibuat dan ditandatangani.
Tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak.
Ø Subbagian pencantuman identitas para pihak (caption).
Dalam subbagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikat diri dalam kontrak dan siapa-siapa yang menadatangani kontrak tersebut. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan tentang identitas para pihak yaitu:
Para pihak harus ditentukan secara jelas,
Orang yang menandatangani harus disebutkan kapasitasnya sebagai apa,
Pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Ø Subbagian Penjelasan
Pada subbagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengatakan kontrak (sering disebut bagian premis).
2) Bagian Isi
Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi.
Klausula definisi
Dalam klausula ini biasanya dicantumkan berbagai definisi untuk keperluan kontrak. Definisi ini hanya berlaku pada kontrak tersebut dan dapat mempunyai dari pengertian umum. Klausula definisi penting dalam rangka mengefisienkan klausula-klausula selanjutnya karena tidak perlu diadakan pengulangan.
Klausula transaksi
Klausula transaksi adalah klausula-klausula yang berisikan tentang transaksi yang akan dilakukan. Misalnya dalam transaksi jual beli asset maka harus diatur tentang objek yang akan dibeli dan pembayarannya. Demikian pula dengan suatu kontrak usaha patungan, perlu diatur tentang kesepakatan para pihak dalam kontrak tersebut.
Klausula Spesifik
Klausula spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya klausula tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan sanksi yang berbeda.
Klausula ketentuan umum
Klausula ketentuan umum adalah klausula yang sering kali dijumpai dalam berbagi kontrak dagang maupun kontrak linnya. Klusula ini antara lain mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum, pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian, dan lain-lain.
3) Bagian Penutup
Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup.
v Subbagian kata penutup, kata penutup biasanya menerangkan bahawa perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan terikat dengan isi kontrak.
v Subbagian ruang penempatan tanda tangan adalah tempat pihak-pihak menandatangani perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak yang terlibat dalam kontrak, nam jelas orang yang menandatangani dan jabatan dari orang yang menandatangani.
Untuk mengkaji struktur dan anatomi kontrak, harus dilihat pada substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai kontrak, maka struktur kontrak dapat dipilah menjadi 12 (dua belas) hal pokok. Kedua belas hal itu meliputi:
1. Judul kontrak;
Istilah judul kontrak berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu the title of contract. Judul kontrak atau kepala atau head kontrak. Judul kontrak biasanya:
ü Sama dengan isi kontrak yang bersangkutan;
ü Mencerminkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam kontrak yang bersangkutan;
ü Judul kontrak tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit.
Judul kontrak dapat memberi gambaran tentang isi dari kontrak yang bersangkutan. Berikut adalah contoh judul kontrak, yaitu:
ü Perjanjian kredit
ü Perjanjian pembiayaan konsumen
ü Perjanjian sewa guna usaha (leasing)[11] kendaraan bermotor
ü Perjanjian pembiayaan murabahah
ü Perjanjian pembiayaan mudharabah
2. Pembukaan kontrak;
Bagian pembukaan kontrak lazim disebut dengan opening. Pembukaan kontrak merupakan bagian awal dari suatu kontrak. Ada dua model pembukaan kontrak, yaitu:
ü Tanggal kontrak disebutkan pada bagian awal kontrak; dan
ü Tanggal kontrak disebutkan pada bagian akhir kontrak.
Berikut ini disajikan contoh pembukaan kontrak, yang tanggalnya disebutkan pada awal kontrak.
ü Pada hari ini, Rabu, tanggal sepuluh bulan April, tahun dua ribu enam (2006) pukul 09.00 WITA menghadap kepada saya, Muhammad Ali, sarjana hukum, magister kenotariatan (MKn), notaris di Mataram, dengan dihadiri oleh para saksi yang saya, notaris kenal dan akan disebutkan pada bagian akhir akta ini.
Sedangkan contoh pembukaan kontrak, yang tanggal pembuatan kontraknya terdapat pada bagian akhir kontrak, seperti:
ü Yang bertanda tangan di bawah ini;
ü Kami yang bertanda tangan di bawah ini;
ü Kontrak ini telah dibuat dan ditanda tangani oleh dan antara ….
Model pembukaan kontrak diserahkan kepada para pihak dan model apapun yang digunakan tergantung mereka, kecuali pembukaan kontrak yang dibuat oleh dan di hadapan notaris, yang telah baku dan telah menjadi kebiasaan di dalam praktek kenotariatan. Pada umumnya, akta notaris, pembukaan kontraknya selalu di depan.[12]
Dalam pembukaan kontrak dicantumkan tanggal, bulan dan tahun pembuatan kontrak. Fungsi pencantuman tanggal tersebut adalah sebagai tanggal terjadinya perjanjian, kecuali para pihak menentukan lain.
3. Komparisi;
Istilah komparisi berasal dari kata komparisi/comparitie, verschijning van partijen. Dalam literatur Amerika, komparisi disebut juga dengan istilah caption atau exordium. Komparisi adalah bagian dari suatu kontrak yang memuat identitas para pihak yang mengikatkan diri dalam kontrak secara lengkap. Biasanya memuat nama-nama para pihak, pekerjaan, tempat tinggal, termasuk kapasitas yang bersangkutan sebagai pihak dalam kontrak, misalnya mewakili, pemegang kuasa, bertindak unutk diri sendiri. Yang memberi indikasi, para pihak mempunyai kewenangan hukum atau tidak (rechtsbevoegdheid) untuk melakukan tindakan-tindakan hukum (rechtshandelingen) seperti yang dimaksud dalam kontrak tersebut.
Perumusan tersebut mengajarkan kepada kita bahwa dalam perikatan ada dua pihak yang saling berhubungan/terikat. Dikatakan “pihak” bukan “orang” karena dalam suatu perikatan terlibat lebih dari dua orang, tetapi “pihaknya” tetap dua.[13]
Dalam berbagai kontrak, baik yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun akta autentik tidak ada keseragaman secara pasti tentang susunan komparisi yang harus dicantumkan dalam kontrak. Dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris telah ditentukan struktur komparisi, yaitu:
“nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, temapt tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili”.
Pencantuman komparisi berfungsi untuk:
1. Menerangkan identitas pihak-pihak yang membuat kontrak
2. Menjelaskan posisi/kedudukan para pihak (sebagai apa) dalam kontrak yang bersangkutan
3. Menerangkan dasar (landasan) dari pihak yang bersangkutan
4. Akan diketahui para pihak memiliki kecakapan dan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum yang dituangkan dalam kontrak yang bersangkutan
5. Orang akan tahu bahwa para pihak memang mempunyai hak untuk melaksanakan tindakan dalam kontrak yang bersangkutan.
Berikut contoh komparisi, sesuai dengan kemungkinan para pihaknya.
ü Para pihak bertindak untuk diri sendiri, contohnya:
Yang bertanda tangan di bawah ini:
a. Muhammad Ali, sarjana hukum, lahir di Ampenan, Mataram, tanggal dua puluh dua Maret tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima (1965), warga negara Indonesia, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan Kesejahteraan Raya, Nomor 178, Kelurahan Tanjung Karang, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram.
Yang selanjutnya disebut : Pihak Penjual.
b. Haji Ikraman, lahir di kecamatan Mataram, kota Mataram, tanggal dua puluh lima Juni tahun seribu sembilan ratus enam puluh tujuh (1967), pekerjaan wiraswasta, tinggal di Jalan Dodokan III, BTN, Kekalik, Kecamatan mataram, kota Mataram.
Yang selanjutnya disebut : Pihak Pembeli.
ü Salah satu pihak mewakili badan hukum dan pihak lainnya bertindak untuk diri sendiri, contohnya:
Yang bertanda tangan di bawah ini:
a. Drs. Gulu Mansyuri, pemimpin Kantor Cabang Mataram PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut berdasarkan Surat Kuasa Direksi Bank Negara Indonesia 1946 tanggal 14 Maret 1987 No. 13 yang dibuat di hadapan Koesbiono Sarmanhadi, Sarjana Hukum Notaris di Jakarta dan Kata Penegasan Wewenang dan Kuasa tanggal 21 Agustus 1992 Nomor 63, yang dibuat di hadapan Koesbiono Sarmanhadi, S.H., M.H. Notaris di Jakarta, dengan demikian berdasarkan Anggaran Dasar Perseroan beserta perubahan-perubahannya yang terakhir diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 30 Januari 2004 Nomor 9 dan Tambahan Berita Negara Nomor 1152, berwenang bertindak untuk dan atas nama PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta dengan alamat Jalan Jenderal Sudirman Kavling 1, untuk selanjutnya disebut: Bank
b. Haji Maman, lahir di kecamatan Ampenan, kota Mataram, tanggal dua puluh lima bulan Juni tahun seribu sembilan ratus enam puluh delapan (1968), pekerjaan wiraswasta, tinggal di Jalan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Nomor 187, Tanjung Karang, Kecamatan Ampenan, kota Mataram, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, dan untuk selanjutnya disebut: Penerima Kredit
ü Salah satu pihak bertindak mewakili badan hukum dan pihak lainnya bertindak sebagai pemegang kuasa, contohya:
a. Bank Tabungan Negara, berkedudukan di Jakarta, Jalan Gajah Mada Nomor 1 dalam hal ini berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1968, Lembaran Negara RI Nomor 73, Tambahan Lembar Negara RI Nomor 2873 diwakili oleh: Drs. Soenyoto, Kepala Cabang Bank Tabungan Negara di Denpasar bertempat tinggal di Denpasar, dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Tabungan Negara Nomor 441 tanggal 25 Januari 1988 selaku kuasa Direksi dari dan dengan demikian sesuai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1968, Lembaran Negara RI Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2873 bertindak untuk dan atas nama Bank Tabungan Negara selanjutnya disebut Bank.
b. Nyonya Mardiana. Lahir di Sumbawa, tanggal lima bulan Mei tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima (1965), warga negara Indonesia, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, bertempat tinggal di Jalan Towuti I/6 Kelurahan Tanjung Karang, Ampenan, Mataram, penerima kuasa dari Salim H.S., S.H., lahir di Empang, tanggal delapan bulan April tahun seribu sembilan ratus enam puluh (1960), warga negara Indonesia, pekerjaan Dosen Fakultas Hukum, Unram, bertempat tinggal di Jalan Towuti I/6, Kelurahan Tanjung Karang, Ampenan, Mataram, yang selanjutnya disebut Debitur.
4. Recital; (konsiderans atau pertimbangan)
Recital adalah penjelasan resmi atau latar belakang atas suatu keadaan dalam suatu perjanjian untuk menjelaskan mengapa terjadinya perikatan. Contohnya pada perjanjian pinjam meminjam uang:
a. bahwa pihak pertama memerlukan sejumlah uang untuk menambah modal usaha, yaitu sebesar Rp 100.000.000; …………………………..
b. bahwa pihak kedua bersedia memberikan sejumlah uang sebagai pinjaman kepada pihak pertama dengan syarat-syarat yang akan disebutkan di bawah ini. ……………………………………………….
5. Definisi;
Definisi adalah rumusan istilah-istilah yang dicantumkan dalam kontrak, tujuannya adalah:
Untuk memperjelas dan memperoleh kesepakatan mengenai istilah kunci yang digunakan dalam kontrak tersebut sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dari pihak yang membuat kontrak.
Istilah-istilah yang didefinisikan akan digunakan pada pasal-pasal berikutnya sehingga dapat mempersingkat dalam merumuskan istilah pada pasal-pasal berikutnya (cukup menggunakan istilah itu, tanpa perlu menjelaskan lagi), mengingat istilah yang digunakan telah didefinisikan pada pasal definisi.[14] Contoh dari definisi yang dimuat dalam “Perjanjian Kerja Sama dalam Rangka Pemberian Usaha Kecil”, yaitu:
a. Perjanjian kredit berarti perjanjian kredit atau perjanjian fasilitas pembiayaan atau dokumen serupa yang isinya mengenai pemberian fasilitas keuangan oleh Pihak Pertama kepada nasabah dan telah diterima fasilitas tersebut oleh nasabah yang memenuhi kriteria kredit usaha kecil (KUK);
b. Pinjaman kredit usaha kecil (KUK) berarti pinjaman atau fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh Pihak Pertama kepada nasabah yang memenuhi kriteria kredit usaha kecil (KUK).
6. Pengaturan hak dan kewajiban (Substansi Kontrak);
Pada dasarnya, substansi kontrak merupakan kehendak dan keinginan para pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, substansi kontrak diharapkan dapat mencakup keinginan-keinginan para pihak secara lengkap, termasuk di dalamnya objek kontrak, hak dan kewajiban para pihak, dan lain-lain.

7. Domisili;
Domisili berasal dari bahasa inggris yang berarti tempat kediaman. Tempat kediaman adalah tempat seseorang melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum itu sendiri berarti suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum, seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, hibah, beli sewa, leasing, dan lain-lain. Penentuan domisili nantinya akan merujuk pada tempat penyelesaian sengketa yang nantinya akan timbul pada pelaksanaan kontrak.[15] Contoh pencantuman domisili:
“Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk memilih domisili tetap dari segala yang timbul akibat perjanjian ini, yaitu di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta”.
8. Keadaan memaksa (force majeure);
Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti, gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Dengan adanya kebijakan ini, maka Pihak Kedua dapat mengelak untuk melaksanakan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua. Contohnya:
“Tidak ada satu pihak pun yang dapat dituntut untuk melaksanakan hak dan tanggung jawabnya yang tidak dilaksanakan dikarenakan terjadi suatu peristiwa yang berada di luar jangkauan/kemampuan kedua belah pihak untuk menghindarinya, kejadian mana yang lazim disebut force majeure seperti: bencana alam, huru-hara, pemberontakan, peperangan dan lain sejenisnya, maka masing-masing pihak akan saling melepaskan pelaksanaan kewajiban KEDUA BELAH PIHAK. ”
9. Kelalaian dan pengakhiran kontrak;
Istilah kelalaian berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu default, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan achteloos (lalai). Default atau lalai atau tidak dilaksanakannya kewajiban oleh satu pihak atau debitur sebagaimana yang ditentukan dalam kontrak. Seperti, agunan nasabah dinyatakan batal, debitur tidak membayar pokok dan bunga pinjaman pada tanggal yang telah disepakati pada perjanjian, dan lain-lain.
Di samping itu, dalam kontrak juga harus dicantumkan ketentuan yang berkaitan dengan pengakhiran kontrak. Pengakhiran kontrak ini merupakan upaya untuk menghentikan atau mengakhiri kontrak yang dibuat para pihak. Biasanya pengakhiran kontrak ini disebabkan salah satu pihak (biasanya debitur/pihak kedua) tidak melaksanakan prestasinya.
10. Pola penyelesaian sengketa;
Dalam setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, harus selalu dicantumkan tentang pola penyelesaian sengketa. Pola penyelesaian sengketa merupakan bentuk atau pola untuk mengakhiri sengketa atau pertentangan yang timbul di antara para pihak. Biasanya penyelesaian sengketa tersebut dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Musyawarah;
2. Arbitrase;
3. Pengadilan Negeri
11. Penutup;
Penutup kontrak merupakan bagian akhir dari kontrak. Bunyi bagian penutup dari kontrak adalah berbeda antara kontrak yang satu dengan kontrak yang lain. Akan tetapi lebih baik jika dicantumkan pernyataan para pihak tentang tiadanya hal-hal yang membatalkan kontrak.[16] Contohnya adalah:
“Demikian perjanjian leasing ini dibuat serta ditandatangani oleh masing-masing pihak dalam keadaan sehat dan sadar, tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun, setelah membaca dan memahami isinya”.
Pencantuman tanpa paksaan baik psikis dan fisik ini dilakukan sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
12. Tanda tangan;
Tanda tangan merupakan nama yang dituliskan secara khas dengan tangan para pihak. Dalam kontrak yang dibuat dibawah tangan, maka tanda tangan yang dimuat dalam kontrak hanya meliputi tanda tangan para pihak dan saksi-saksi. Sedangkan kontrak yang dibuat dalam bentuk akta autentik, maka pencantuman tanda tangan terdiri dari para pihak, saksi-saksi, dan notaris/pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Contoh :
Pihak Pertama, Pihak Kedua,


(………………) (………………) Saksi-saksi
Notaris,

(………………..)
Persyaratan Penulisan kontrak

1. Penggunaan Kata-kata yang tepat

Penggunaan kata-kata yang tepat adalah pemilihan kata-kata yang sesuai dengan konsep pemikiran dan sesuai dengan konteks hukum keseluruhannya.
Ketepatan pemilihan kata-kata ini merupakan proteksi bagi kepentingan kita terhadap kemungkinan penafsiran yang merugikan.

2. Kepadatan Kalimat

Dengan kepadatan kalimat kontrak dimaksudkan menggunakan rangkaian kata-kata yang dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan kalimat yang padat dalam arti kata tidak mungkin lagi untuk baik mengurangi maupun menambah kata-kata dalam kalimat itu tanpa menimbulkan berkurangnya arti, baik dari kalimat itu endiri maupun dari tata susunan kalimatnya.

3. Kejelasan Arti dan Makna

Diamaksudkan disini adalah pemilihan kata-kata yang tepat dan dirangkai menjadi kalimat yang padat tersebut tidak akan memberikan arti dan makna lain sehinnga tidak mungkin diinterprestasikan oleh penyusun kontrak.

4. Kesederhanaan

Dengan asas kesederhanaan dalam penyusunan kontrak dimaksudkan agar didalam kontrak tidak dipergunakan kata-kata ataupun susunan kalimat yang berliku-liku karena sifatnya merupakan “bahasa tinggi” yang sukar untuk dimengerti.

Tahap-tahap penyusunan kontrak

Ø Pertemuan kehendak para pihak yang akan saling mengikatkan diri.
Ø Perundingan (negoisasi)
Ø Memorandum Of Understanding (MOU)
Ø Konsep kontrak dari salah satu para pihak.
Ø Konsep akhir kontrak
Ø Penandatanganan para pihak

Pertemuan Kehendak




Perundingan/ Negoisasi

Perubahan serta koreksian isi kontrak
Perubahan serta koreksian isi kontrak
Konsep Akhir Kontrak yang telah disetujui bersama oleh para pihak
Sepakat Perundingan
Negoisasi isi kontrak/bunyi isi Klausula Kontrak dan Pemahamannya
Perundingan
Konsep kontrak
Konsep Kontrak
Konsep kontrak
MOU



Penyerahan Hasil Lelang Kepada Pihak Yang Menang
Selesai
Lelang Eksekusi
Sita Eksekusi
Teguran
Melalui Pengadilan Negeri
Paksa
Selesai
Sukarela
Putusan
Abitrase
Pengadialan
Tidak Tercapai Musyawarah
Musyawarah
Sengketa
Dalam Hal Salah satu Pihak Wanprestasi
KONTRAK SELESAI
Para Pihak Mematuhi kewajibannya
Pelaksanaan Kontrak
Penandatanganan Kontrak oleh Para Pihak
SELESAI










PENJELASAN

Pertemuan Kehendak para Pihak adalah adanya niat dan kemauan dari para pihak yang satu yang kemudian diterima oleh para pihak yang lainnya atau para pihak sama-sama berkeinginan untuk melakukan hubungan bisnis.
Perundingan atau negoisasi adalah berunding atau bermusyawarah mengadakan prundingan antara pihak yang astu dengan pihak yang lain mengenai pokok-pokok atau prinsip-prinsip materi isi kontrak secara garis besar saja.
Memorandum Of Understading adalah catatan pendek atau nota pengertian yang dicapai oleh para pihak setelah melakukan perundingan ang dituangkan dalam benuk tulisan.
Konsep Kontrak[17] adalah isi/materi dari unsur-unsur kontrak yang akan disampaikan kepada pihak lain untuk dipelajari, didiskusikan dan diperdebatkan untuk dapat dicapai satu pengertian dan pemahaman yang sama agar dapat dilaksanakan.
Konsep akhir Kontrak adalah hasil perundingan dari konsep kontrak terdiri dari isi/materi kontrak yang telah disepakati bersama yaitu merupaka satu pengertian dan pemahaman dari seluruh unsur-unsur dalam kontrak yang berbentuk dalam wujud beisikan klausula-klausula berikut lampirannya apabila ada.
Penandatanganan adalah pembubuhan tanda tangan pada konsep akhir yang dilakukan para pihak sebagai bukti persetujuan terhadap isi/materi kontrak untuk dilaksanakan.

JudulUNSUR-UNSUR
Persyaratan lain yang tersebut didalam klausul dan merupakan satu kesatuan
Penandatanganan
Pernyataan para pihak ttg tiadanya hal’ yang membatalkan Kontrak
Klausula Pemilihan Hukum dan Domisili
Klausula Spesifik
Klausula Sanksi
Klausa Objek kontrak
Klausa Definisi
Dasar diadakannya Kontrak (Causa)
Komparisi
Kepala Kontrak
Lampiran
Isi/Materi
Pembukaan
Penutup DALAM KONTRAK

KONTRAK






[18]












UNSUR-UNSUR
DALAM KONTRAK

Kepala kontrak
Adalah kalimat awal pembukaan kontrak yang membuktikan kapan dan dimana kontrak tersebut dibuat dan ditandatangani oleh para pihak
Contoh:
“Kontrak ini dibuat pada hari ini hari……………Tanggal…………..Bulan…………..Tahun………….Di……….(Jakarta) oleh dan antara”
Judul
Adalah menunjukan dan sekaligus memberikan cakupan pengertian pokok tentang hakikat isi suatu kontrak

Ditulis sesuai dengan isi Kesepakatan
Contoh: “Pengakuan Hutang dan Pemberian Jaminan”

Para Pihak (Komparasi)
Adalah penyebutan dan penjelasan mengenai identitas para pihak yang membuat kontrak/yang berkepentingan.
Misalnya:
Tuan Ganteng, dalam hal ini bertindak menjalankan jabatannya sebagai Direktur Utama dari dan oleh karenanya untuk dan atas nama PT. Cantik Molek, berkedudukan di Jakarta, berkantor di Jl. Jend. Sudirman Kav.3 No.100, Jakarta Pusat



Causa Dasar
Causa/dasar dalam suatu kontrak biasanya dinyatakan sebagai keterangan pendahuluan (dari para pihak) mengenai dasar atau sebab dibuatnya kontrak yang bersangkutan.
Contoh:
· Para pihak menerangkan SBB
· Bahwa debitur ingin meminjamkan uang dari bank, yang bersedia untuk meminjamkan uang tersebut kepada debitur dengan syarat-syarat dan ketentuan yang akan disebut dibawah ini







Syarat-syarat isi Kontrak
· Esensialia, yaitu syarat yang harus ada, dimana tanpa adanya syarat ini kontrak menjadi cacat.
· Naturalia, yaitu syarat yang dalam praktek lazim dibuat.
· Aksidentalia, yaitu syarat yang khusus biasanya tidak lazim, namunpara pihak menghendaki agar syarat-syarat tersebut dibuat dalam kontrak.
Klausula Objek Kontrak
Yaitu menentukan apa yang dijadikan objek kontrak dengan menyebutkan secara jelas dan lengkap tentang nama barangnya, wujudnya/jenisnya, letaknya, luas/banyaknya dan bukti yang mendasari hak atas barang tersebut.

Klausula Definisi
Yaitu setiap kata/kalimat yang akan diatur dalam kontrak diberika batasan/arti agar nantinya tidak menimbulkan salah pengertian dan tidak dapat ditafsirkan lain serta agar para pihak jelas dan paham benar apa maksudnya.












Klausula Hak dan Kewajiban
Yaitu menentukan hak dan kewajiban para pihak yang harus ditulis secara tegas dan jelas serta terperinci apa saja yang menjadi hak masing-masing dan tentang hal-hal apa yang wajib harus dilakukan masing-masing pihak, secara seimbang dan bertimbal balik.
Contoh:
· Pihak kedua berhak penuh untuk memilih dan menentukan kontraktor yang akan ditunjuk untuk membangun gedung atau bagian – bagian lainnya.
· Pihak kedua wajib untuk mengurus atau mengusahakan ijin-ijin dan persetujuan yang diperlukan dalam pekerjaan pembangunan gedung tersebut..

Klausula Sanksi
Yaitu ketentuan yang mengatur pemberian sanksi akibat pelanggaran dan kelalaian salah satu pihak dalam melaksanakan isi kontrak yang berupa pelanggaran terhadap kewajibannya.
Contoh:
Pihak pertama wajib dan dengan ini menyetujui untuk memberikan ganti rugi kepada pihak kedua atas segala kerugian yang diderita oleh pihak kedua sebagai kelalaian pihak pertama untuk memberikan bantuan persetujuan-persetujuan, izin-izin, kuasa atau surat-surat termaksud dalam pasal………..(3.11).

Klausula Spesifik
Yaitu Pengaturan tentang hal-hal yang spesifik/khusus yang dikehendaki para pihak untuk dituangkan dalam kontrak

Klausula Pemilihan Hukum dan Domicili
Yaitu menentukan hukum yang dipilih dalam melaksanakan dan menyelesaikan perselisihan jikalau timbul serta domicile dimana penyelesaian tersebut akan diselesaikan apabila terjadi sengketa diamasa yang akan datang.
Pernyataan para pihak tentang tiadanya hal-hal yang membatalkan kontrak
Yaitu prnyataan para pihak sebagai kata terakhir/penutup isi kontrak yang menyatakan Sbb:
“Bahwa bener kontrak dibuat oleh para pihak, para pihak pada waktu membuat kontrak dalam keadaan sadar, sehat lahir batin, tidak ada paksaan atau bujukan dari pihak lain”.

Penandatanganan Kontrak
Yaitu pembubuhan tanda tangan kontrak yang dilkukan oleh para pihak sebagai tanda dan bukti persetujuaannya terhadap isi kontrak tersebut secara keseluruhan dan berakibat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Artinya bahwa isi kontrak tersebut harus ditati dan dilaksanakan dengan itikad baik sampai selesai seluruh kewajiban masing-masing pihak.
Contoh: Setelah para pihak membaca dan memahami, mengerti seluruh isi dan maksud kontrak ini, maka para pihak dan para saksi menandatangani.
Pihak Pertama Pihak Kedua
…………….. …………..


…………….

F. Pasca Penyusunan Kontrak

Apabila kontrak telah dibuat dan ditandatangani oleh para pihak, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut.
I. Pelaksanaan dan Penafsiran
Kontrak baru dapat dilaksanakan setelah kontrak tersebut disusun. Akan tetapi pada prakteknya, banyak isi kontrak yang tidak dimengerti oleh para pihak, untuk itu harus dilakukan penfasiran terhadap isi kontrak yang dibuat oleh para pihak agar tidak terjadi perselisihan nantinya. Untuk melakukan penafsiran harus dilihat pada beberapa aspek, yaitu:
a) Jika kata-kata dalam kontrak memberikan berbagai macam penafsiran, maka harus menyelidiki maksud para pihak yang membuat perjanjian (Pasal 1343 KUH Perdata)
b) Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran, maka harus diselidiki pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan (Pasal 1344 KUH Perdata)
c) Jika kata-kata dalam perjanjian mengandung dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUH Perdata)
d) Apabila terjadi keragu-raguan, maka harus ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau di temapt dibuatnya perjanjian (Pasal 1346 KUH Perdata)

Setelah suatu kontrak disusun barulah dapat dilaksanakan. Kadang-adang kontrak yang telah disusun tidak jelas/tidak lengkap sehingga masih diperlukan adanya penafsiran. Berkaitan dengan hal tersebut, undang-undang telah menentukan sejauh mana penafsiran dapat dilaksanakan denagan memperhatikan hal berikut:
§ Kata-kata yang dipergunakan dalam kontrak.
§ Keadaan dan tempat dibuatnya kontrak.
§ Maksud para pihak.
§ Sifat kontrak yang bersangkutan, dan
§ Kebiasaan setempat.
II. Alternatif penyelesaian sengketa
Dalam pelaksanaan kontrak mungkin terdapat sengketa. Para pihak bebas menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul sengketa dikemudian hari. Biasanya penyelesaian sengketa diatur secara tegas dalam kontrak. Setiap cara yang dipilih mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang harus dipertimbangkan sebelum memilih cara yang dianggap cocok untuk diterapkan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebelum melakukan perancangan kontrak, terlebih dahulu melalui tahapan praperancangan kontrak. Ada beberapa tahapan dalam tahap praperancangan yang merupakan tahap sebelum kontrak dirancang dan disusun. Ada empat hal yang harus diperhatikan para pihak, yaitu:
ü Identifikasi para pihak
ü Penelitian awal aspek terkait
ü Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU)
ü Negosiasi
Selanjutnya melalui tahapan penyusunan kontrak, yang dilakukan dengan tahap-tahap berikut:
ü Pembuatan draft pertama;
ü Pertukaran draft kontrak
ü Revisi (jika perlu)
ü Penyelesaian akhir
ü Penandatangan para pihak
Dan terakhir adalah memasuki tahap pasca penyusunan kontrak, yang mencakup mengenai Pelaksanaan dan penafsiran, dan alternatif penyelesaian sengeketa. Sedangkan struktur dan anatomi kontrak secara umum digambarkan dengan adanya tiga bagian utama dari kontrak, khususnya kontrak bisnis, yaitu (1) bagian pendahuluan, (2) isi, dan (3) penutup.
Bagian pendahuluan dibagi menjadi tiga subbagian, yaitu:
ü Subbagian pembuka (description of the instrument).
ü Subbagian pencantuman identitas para pihak (caption).
ü Subbagian penjelasan
Ada empat hal yang tercantum dalam bagian isi, sebagai berikut:
ü Klausul definisi (definition)
ü Klausul transaksi (operative languange)
ü Klausul spesifik
ü Klausul ketentuan umum
Ada dua hal yang tercantum pada bagian penutup, yaitu:
ü Subbagian kata penutup (closing).
ü Subbagian ruang penempatan tanda tangan.








[1] H.S Salim, Hukum kontrak teori dan teknik penyusunan kontrak, Sinar Grafika, Jakarta:2008
[2] Ibid hal. 105
[3] Ibid hal. 105
[4] Ibid hal. 106
[5] Rangkuman kuliah hokum perdata, Yogyakarta fakultas pasca sarjana Universitas Gajah Mada.
[6] Salim, dkk., Op.Cit., h. 123

[7] Salim, dkk., Op.Cit., h. 123

[8] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 161
[9] J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 1999), h. 21


[10] Ibid hal. 21
[11] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 161

[12] Salim, dkk., Op.Cit., h. 95
[13] J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 1999), h. 19
[14] Salim, dkk., Op.Cit., h. 106
[15] Ibid. h. 109
[16] Materi Perkuliahan Aspek Hukum Perjanjian Bank Syariah “Merancang dan Menganalisa Kontrak”, Dosen pembimbing Ah. Azharuddin Lathief, M.Ag., M.H.
[17] Materi Perkuliahan Aspek Hukum Perjanjian Bank Syariah “Merancang dan Menganalisa Kontrak”, Dosen pembimbing Ah. Azharuddin Lathief, M.Ag., M.H.


[18] Materi Perkuliahan Aspek Hukum Perjanjian Bank Syariah “Merancang dan Menganalisa Kontrak”, Dosen pembimbing Ah. Azharuddin Lathief, M.Ag., M.H.

Selasa, 23 Juni 2009

Asuransi Syariah

ASURANSI SYARI’AH

1.1 PENGERTIAN, DASAR HUKUM, SEJARAH &TUJUAN BERDIRI

1. Pengertian

Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang berarti “pertanggungan”. Dalam ensiklopedi hukum Islam disebutkan bahwa asuransi “al-Ta’min” adalah “Transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”.

Definisi Asuransi menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Pasal 1 adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri dengan pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang akan mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Sedangkan Asuransi Syari’ah secara umum dapat didefinisikan sebagai salah satu usaha asuransi yang dimaksudkan sebagai usaha atau kegiatan ekonomi proteksi bagi umat muslim.

A. Definisi Asuransi Syari’ah (Takaful)

1) Arti Kata Takaful

Secara bahasa, takaful تكافل berasal dari akar ( ك ف ل) yang artinya menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Pengertian ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Thaha ayat 40 dan QS. Al-Maidah ayat 85.

2) Arti Takaful dalam Pengertian Muamalah

Takaful dalam muamalah berarti saling memikul resiko diantara sesama muslim sehingga antara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (dana tabarru’) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut. Takaful dengan pengertian seperti ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2.

Implementasi takaful sebagaimana digambarkan dalam hadis diriwayatkan:

Dari Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam.” (HR. Muslim)

B. Definisi Asuransi Syari’ah Menurut DSN

Asuransi Syari’ah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang sesuai dengan syari’ah yang dimaksud adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

Dalam asuransi syari’ah terdapat prinsip dasar yang menjadi acuan, yaitu:

1. Tauhid (unity), bahwa setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan.

2. Keadilan (justice). Yaitu uapaya penampatan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi.

3. Tolong-menolong (ta’awun).

4. Kerja sama (Cooperation), yang merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi Islam.

5. Amanah (trustworthy/al-amanah). Dalam perusahaan asuransi dapat terlihat dalam nilai-nilai akuntabilitas perusahaan melalui laporan keuangan.

6. Kerelaan (al-ridha).

7. Lararangan riba

8. Larangan maisir (judi)

9. Larangan gharar (ketidakpastian)

2. Dasar Hukum

A. Al-Quran

Al-Quran tidak menyebutkan secara tegas ayat yang berkaitan dengan asuransi. Dalam hal ini tidak ditemukan istilah asuransi atau al-ta’min dalam al-Quran. Tetapi al-Quran masih mengakomodir ayat yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi itu sendiri, diantaranya:

1. QS. Al-Maidah: 2, yang memuat perintah tolong-menolong antarsesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan nasabah untuk menyisihkan dananya sebagai dana sosial.

… tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran …

2. QS. At-Taghaabun: 11, yang menegaskan bahwa segala musibah dan peristiwa dimasa depan tidaklah dapat diketahui manusia. Dalam bisnis asuransi hal ini dipelajari dalam bentuk manajemen resiko.

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…”.

3. QS. An-Nisa: 7, yang menjelaskan tentang waris-mewarisi. Dalam bisnis asuransi hal ini diterapkan dengan pembayaran klaim (santunan) bagi seorang nasabah asuransi kepada keluarga atau ahli waris yang ditinggalkan.

Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.

B. Sunnah Nabi

Dasar hukum asuransi berdasarkan sunnah Nabi dapat dilihat dalam berbagai riwayat berikut:

1. Hadis tentang aqilah:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janinnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah, maka Rasul memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya.” (HR. Bukhari)

2. Hadis tentang menghindari resiko:

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bertanya seseorang kepada Rasulullah saw tentang untanya: “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)?” bersabda Rasulullah saw: “Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakalah kepada Allah SWT”.

C. Piagam Madinah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi saw., dikalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib, dan orang yang mengakui mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia yang lain. Kaum Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu membahu membayar diyat diantara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang adil diantara mukminin”.

Demikianlah para suku yang ada di Madinah pada waktu itu diharuskan membayar uang darah dalam komunitas bersama bersandarkan pada doktrin aqilah sebagai peraturan konstitusi. Sebagaimana kontribusi tersebut akan dipertimbangkan sebagai bentuk lain dari pertanggungan sosial (social insurance).

D. Praktik Sahabat

Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah Umar bin Khatab. Pada suatu ketika Umar memerintahkan agar daftar (diwan) saudara-saudara muslim disusun pedistrik. “Orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan berhak menerima bantuan satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran ganti rugi atas pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka”.

E. Ijma

Para sahabat telah melakukan kesepakatan dalam hal ini (aqilah). Terbukti dengan tidak adanya pertentangan dari sahabat lain dengan praktek aqilah pada masa pemerintahan Umar bijn Khatab.

F. Syar’u Man Qablana

Dalam hal ini kebiasaan umat terdahulu tertuang pada praktek Aqilah yang juga dikisahkan dalam sunnah nabi. Yang pada prakteknya sama dengan asuransi di zaman sekarang.

G. Istihsan

Istihsan dalam pandangan ulama Ushul adalah memandang sesuatu itu baik . Dalam hal ini kebaikan aqilah terletak pada, bahwa ia dapat menggantikan balas dendam berdarah.

Selain dasar hukum tersebut, terdapat pula dasar hukum yang merupakan ikhtilaf para ulama yang membolehkan praktek asuransi. Beberapa pandangan mengenai asuransi yang ditinjau dari fiqh Islam tersebut diklasifikasi kedalam tiga kelompok, yaitu:

a. Pendapat pertama; Mengharamkan

Asuransi itu haram dengan segala macam bentuknya, termasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan adalah;

1) Asuransi sama dengan judi

2) Mengandung unsur-unsur yang tidak pasti.

3) Mengandung unsur riba/renten.

4) Mengandung unsur pemerasan karena pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi.

5) Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek riba.

6) Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.

7) serta, Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama hal nya dengan mendahului takdir Allah.

b. Pendapat kedua; Membolehkan

Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam fakultas Syari’ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Islam Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan, tidak ada nash yang melarang asuransi, ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak, saling menguntungkan kedua pihak, asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan dengan prinsip mudharabah (bagi hasil) seperti pada praktek koperasi (Syirkah Ta’awuniyah). Selain itu mereka menganalogikan (qiyas) asuransi dengan sistem pensiun seperti taspen.

c. Pendapat ketiga; Asuransi Sosial Boleh dan Komersil Haram

Pendapat ketiga ini dianut oleh Muhammad Abu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersil (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Alasan golongan yang menyatakan asuransi syubhat ini adalah karena tidak ada dalil yang menegaskan haram atau tidaknya asuransi itu.

3. Sejarah

Sejarah Asuransi

Konsep asuransi sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak jaman sebelum masehi dimana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain kekurangan bahan makanan. Salah satu cerita yaitu yang terjadi dimasa Mesir Kuno semasa Raja Firaun berkuasa. Suatu hari Raja bermimpi yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen berlimpah dan kemudian diikuti oleh masa paceklik 7 tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga Raja Firaun mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen 7 tahun pertama sebagai cadangan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat terhindar dari kelaparan.

Pada tahun 2000 SM para saudagar dan aktor Italia membentuk Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dari para anggota yang meninggal. Perkumpulan serupa yaitu Collegia Nititum, kemudian berdiri dengan beranggotakan para budak belian yang diperbantukan pada ketentaraan kerajaan Roma.

Pada zaman Alexander Agung (336-323 SM) ada usaha manusia yang mirip dengan asuransi, yaitu upaya kotapraja untuk mengisi kasnya dengan cara meminjam uang dari perseorangan dengan syarat “Jumlah uang pinjaman diberikan sekaligus kepada kotapraja oleh yang meminjamkan, misalnya 6000 drachmen. Setiap bulan kotapraja membayar sejumlah 50 drachmen kepada yang meminjamkan uang hingga ia wafat. Ketika ia wafat, kepada ahli warisnya atau keluarganya kotapraja akan memberikan 200 drachmen untuk biaya pemakaman”.

Pada zaman abad pertengahan, di Exeter, Inggris, ada kebiasaan diantara para anggota suatu “gilde” (perkumpulan dari orang-orang yang sama pekerjaannya) dijanjikan bahwa apabila rumah salah seorang anggota terbakar, maka kepadanya diberi sejumlah uang dana kepunyaan “gilde” tersebut.

Konsep asuransi ini berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat primitif yang berkelompok, dimana kebutuhan setiap kelompok dan suku ditanggung dan dipenuhi secara bersama dan kerjasama. Kemudian ketika keluarga dan suku tersebut hidup secara berpindah-pindah yang secara teori keluarga mulai menghadapi berbagai macam bahaya tanpa ada perlindungan dari kelompok, maka saat itulah mulai dirasakan perlunya perlindungan terhadap ancaman tersebut, yang kemudian sebagai unsur awal munculnya asuransi.

Sejarah Asuransi Syari’ah

Perkembangan asuransi dalam sejarah Islam sudah lama terjadi. Praktek asuransi Islam pertama kali dipraktekkan oleh Nabi Yusuf pada saat menafsirkan mimpi Raja Firaun. Praktek asuransi sendiri dalam budaya arab kuno dikenal dengan Al-Aqilah, yaitu jika salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku yang lain, keluarga korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Penutupan yang dilakukan oleh keluarga pembunuh itulah yang disebut aqilah. Praktek aqilah tersebut tetap diterima pada zaman Rasulullah dan menjadi bagian dari Hukum Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam riwayat hadis Nabi, yaitu:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janinnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah, maka Rasul memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya.” (HR. Bukhari)

Selain hadis tersebut, ada pasal khusus dalam konstitusi Madinah yang memuat semangat untuk saling menanggung bersama, yaitu pasal 3 yang isinya “Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah diantara mereka”.

Sebelum abad ke-14 asuransi telah dilakukan oleh orang-orang arab sebelum datangnya Islam. Orang-orang Arab yang mahir berdagang telah melakukan perdagangan di Negara lain melalui jalur laut. Untuk melindungi barang-barang dagangannya ini mereka mengasuransikannya dengan tidak menggunakan bunga dan riba. Praktek asuransi tersebut pun juga dilakukan oleh Nabi ketika melakukan perdagangan di Mekkah. Suatu ketika Nabi turut dalam perdagangan di Mekkah dan seluruh armadanya terpecah belah oleh suatu bencana, hilang di padang pasir. Kemudian para pengelola usaha yang merupakan anggota Dana Kontribusi membayar seluruh barang dagangan, termasuk harga unta dan kuda yang hilang, kepada para korban yang selamat dan keluarga korban yang hilang. Nabi Muhammad yang pada saat itu berdagang dengan modal dari Siti Khodijah juga telah menyumbangkan dana pada Dana Kontribusi tersebut dari keuntungan yang diperolehnya.

Kemudian pada pertengahan abad ke-20 di beberapa Negara Timur Tengah dan Afrika telah mulai mencoba mempraktekkan asuransi dalam bentuk takaful yang kemudian berkembang pesat hingga ke negara-negara penduduk non-muslim sekalipun di Eropa dan Amerika. Dan pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi syari’ah selain mengembangkan praktek tolong menolong juga memasukkan unsur investasi, yang prakteknya berjalan hingga sekarang.

4. Tujuan Berdiri

Tujuan berdirinya asuransi syari’ah pada dasarnya adalah memberikan alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk asuransi yang sesuai dengan hukum Islam. Sedangkan secara operasional dan kelembagaan, tujuan asuransi syari’ah sama dengan asuransi konvensional yaitu pengelolaan atau penanggulangan resiko.

1.2 PERBEDAAN ASURANSI SYARI’AH DENGAN ASURANSI KONVENSIONAL

Ada 7 perbedaan mendasar antara asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional. Perbedaan tersebut adalah:

A. Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. DPS tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.

B. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong, sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli.

C. Investasi dana pada asuransi syari’ah didasarkan pada bagi hasil (mudharabah). Sedangkan asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasi.

D. Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas mengalokasikan dananya.

E. Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru’.

F. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong diantara peserta jika terjadi musibah. Sedangkan asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari rekening dana perusahaan.

G. Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

1.3 BERBAGAI PRODUK DAN MEKANISME OPERASIONAL

Secara garis besar produk yang dikeluarkan oleh perusahaan Asuransi Syari’ah yang terkait dibagi menjadi dua, yaitu:

A. Produk asuransi syari’ah dengan unsur saving, seperti dalam produk yang dikeluarkan PT. Asuransi Takaful Keluarga; Takaful Dana Investasi, Takaful Dana Haji, dan Takaful Dana Siswa

B. Produk asuransi syari’ah non-saving, seperti dalam produk asuransi yang dikeluarkan PT. Asuransi Takaful Keluarga; Takaful Kesehatan Individu, Takaful Kecelakaan Diri Individu, Takaful al-Khairat Individu, dll.

Sedangkan mekanisme operasional dari produk tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

A. Sistem yang mengandung unsur saving

Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening Koran, giro, atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran, baik tiap bulan, kuartal, semester maupun tahunan.

Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu:

1. Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik peserta yang dibayarkan bila;

a. Perjanjian berakhir

b. Peserta mengundurkan diri

c. Peserta meninggal dunia

2. Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila;

a. Peserta meninggal dunia

b. Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)

Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syari’ah Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut prinsip al-Mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta.

B. Sistem yang mengandung unsur non-saving

Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dimasukkan dalam Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, dan dibayarkan bila:

a. Peserta meninggal dunia

b. Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)

Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syari’ah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip al-Mudharabah dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dan peserta.

1.4 PERATURAN HUKUM TERKAIT DENGAN ASURANSI

Secara stratifikasi peraturan terkait tentang usaha perasuransian dan perusahaan reasuransi, dapat dituliskan sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

2. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

3. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas PP No. 73 Tahun 1992

4. Keputusan Menteri Keuangan No. 223/KMK.017/1993 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

5. Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

6. Keputusan Menteri Keuangan No. 481/KMk.017/1999 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

7. Keputusan Menteri Keuangan No. 226/KMk.017/1993 tentang Perizinan dan PenyelenggaraanUsaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi

8. Kitab Undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu “Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.

Dasar hukum tersebut tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syari’ah, karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syari’ahnya. Maka pedoman untuk menjalankan usaha asuransi berdasarkan prinsip syari’ah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan asuransi syari’ah. Tetapi Fatwa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk itu dibentuklah peraturan perundang-undangan agar asuransi syari’ah memiliki kekuatan hukum, meskipun belum memberi kepastian hukum yang kuat. Peraturan tersebut antara lain:

1 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perijinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang menjadi dasar mendirikan asuransi syari’ah dalam Pasal 3 Keputusan Menteri menyebutkan bahwa

“… setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syari’ah …”.

2 Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 424/KMK.06/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syari’ah.

3 Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syari’ah.

1.5 PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ASURANSI SYARI’AH DI INDONESIA

Sejarah Asuransi Syari’ah di Indonesia

Munculnya asuransi syari’ah pertama kali di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi Takaful, yang dibentuk oleh holding company PT. Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada tahun 1994. Terbentuknya Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga perbankan syari’ah yang ada terlebih dulu, yakni Bank Muamalat karena asumsinya Bank Muamalat juga membutuhkan lembaga asuransi yang dijalankan dengan prinsip yang sama. Pembentukan awal Takaful disponsori oleh Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, dan Asuransi Jiwa TEPATI, yang dipimpin oleh direktur utama PT. STI, Rahmat Saleh sebagai langkah awal. Lima orang anggota TEPATI melakukan studi banding ke Malaysia pada September 1993, yang sudah menerapkan asuransi berprinsip syari’ah sejak 1985. Di negeri JIran ini asuransi syari’ah dikelola oleh Syarikat Takaful Malaysia Sdn. Bhd. Setelah berbagai persiapan dilakukan, di Jakarta digelar seminar nasional, dan berikutnya STI mendirikan PT. Asuransi Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Takaful Umum. Secara resmi, PT. Asuransi Takaful Keluarga didirikan pada 25 Agustus 1994, dengan modal disetor Rp. 5 milyar. Sementara PT. Asuransi Takaful Umum secara resmi didirikan pada 2 Juni 1995.

Setelah Asuransi Takaful Umum dibuka, selanjutnya sejumlah lembaga ikut mendirikan asuransi syari’ah, yakni Asuransi Syari’ah Mubarakah, Asuransi Jiwa Asih Great Eastern, MAA Life Insurance, Asuransi Bringin Jiwa Sejahtera, Asuransi Tri Pakarta, AJB Bumiputera, dan lain-lain. Yang terbaru, pada bulan September 2007, PT. Prudential Indonesia membuka unit syari’ah dengan meluncurkan INVESTASI & PROTEKSI SYARI’AH.

Perkembangan dan Pertumbuhan Asuransi Syari’ah di Indonesia

Perkembangan dan pertumbuhan asuransi syari’ah di Indonesia mengalami pencapaian yang baik, terlebih lagi ketika ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2003 tentang Perizinan bagi Pembukaan Perusahaan Asuransi dan Unit Usaha Syari’ah dari Perusahaan Konvensional, asuransi syari’ah di Indonesia mulai mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan hingga sekarang. Perkembangan pasca-KMK 2003, dalam waktu empat tahun saja lahir 40 perusahaan asuransi syari’ah. Artinya hampir setiap bulan ada satu unit usaha syari’ah yang diluncurkan

Perkembangan dan pertumbuhan asuransi syari’ah sendiri mengalami penacapaian yang cukup signifikan, seperti yang dikutip dari Artikel Republika (Wednesday, 26 December 2007)

Produksi premi asuransi syari’ah di Indonesia tahun 2008 diproyeksi mencapai Rp. 1 triliun lebih. Salah satunya dipicu signifikannya pertumbuhan bisnis syari’ah dalam beberapa tahun terakhir pada kisaran 60-70 persen. Hingga akhir tahun 2007, premi asuransi syari’ah diproyeksi meningkat mencapai angka Rp. 700 miliar dibandingkan premi serupa pada akhir 2006 Rp. 478 miliar. “Tahun 2006, premi asuransi syari’ah itu mencapai Rp. 478 miliar atau sekitar 1,11 persen dari industri. Akhir tahun 2007 ini, kemungkinan besar biasa menacapai Rp. 700 miliar atau pangsa 1,3 persen, dan tahun 2008 bila tumbuh minimal 50 persen, saya kira premi bisa mencapai angka psikologis Rp. 1 triliun koma sekian,” kata Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syari’ah Indonesia (AASI), Muhaimin Iqbal. Menurutnya juga, dalam beberapa tahun terakhir, industri asuransi syari’ah Indonesia mencatat presentase pertumbuhan signifikan di level 60-70 persen. Bahkan bila dibandingkan dengan pertumbuhan bisnis asuransi konvensional, pertumbuhan bisnis asuransi syari’ah jauh melampaui. “Di konvensional, tahun 2006 tumbuh minus lima persen, syari’ah tumbuh 73 persen. Tahun sebelumnya begitu, tumbuh 10 persen, di syari’ah 79 persen,” katanya. Muhaimin menyebutkan, faktor penyebab tingginya pertumbuhan bisnis syari’ah di Indonesia, salah satunya adalah banyak asuransi konvensional yang membuka cabang pada tahun 2007. Menurut data di Dewan Akuntansi Syari’ah, jumlah asuransi dan reasuransi untuk perusahaan lokal sudah ada sekitar 38 perusahaan, untuk perusahaan asing yang sudah membuka unit bisnis syari’ah seperti, PT. Asuransi Allianze, Manulife, Prudential, dan MAA Insurance. Sedangkan hingga akhir tahun 2006 dan 2005, asuransi syari’ah masing-masing hanya sebanyak 30 dan 26 buah. “Selain itu, optimisme proyeksi premi tahun 2008 tercapai karena tahun 2008 diproyeksi terdapat 8 hingga 10 pemain baru. Diantaranya tiga hingga empat cabang asuransi kerugian syari’ah,” katanya.

Setidaknya pada saat ini perkembangan asuransi sangat bergairah. Sampai akhir tahun 2007 ini ada sepuluh perusahaaan asuransi yang mendaftar untuk mendirikan cabang asuransi syari’ah. Yang jika tidak ada halangan awal tahun 2008 ini, izin-izin tersebut akan cair. Seperti yang diungkapkan Isa Rachmatawarta, Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam LK).

1.6 DAMPAK PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN ASURANSI SYARI’AH TERHADAP PEREKONOMIAN UMAT

Dengan semakin berkembangnya usaha asuransi syari’ah di Indonesia, dengan sendirinya akan berdampak pada perkembangan perekonomian di Indonesia. Yaitu:

  1. Berkembangnya unit usaha kecil dan menengah, serta pembangunan karena adanya asupan dana investasi dari perusahaan asuransi syari’ah yang terkait.
  2. Dengan banyak perekrutan agen asuransi, secara otomatis akan menekan angka pengangguran.
  3. Bertambahnya pendapatan bagi setiap individu.
  4. Bertambahnya kemampuan belanja setiap individu, yang berdampak pula pada peningkatan pada angka pertumbuhan produksi.
  5. Dengan perkembangan dan pertumbuhan tersebut, baik bagi individu maupun perusahaan, akan berdampak pula penambahan pemasukan bagi Negara.

1.7 PROSPEK, KENDALA DAN STRATEGI PENGEMBANGANYA

Prospek

Dengan banyaknya institusi konvensional yang melirik system syari’ah, maka akan berdampak pula pada perkembangan dan kemajuan institusi syari’ah terkait. Hal ini didasari pada pangsa pasar Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islam. Dengan demikan, institusi syari’ah dapat mengalami perkembangan dimasa mendatang, seperti perkembangan yang terjadi pada pertumbuhan institusi perbankan.

Sama hal nya dengan perbankan, unit asuransi pun juga dapat mengalami perkembangan dengan melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia. Prospek asuransi syari’ah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun kedepan diperkirakan Indonesia bisa menjadi Negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan asuransi syari’ah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang asuransi syari’ah bisa mencapai 10 persen market share asuransi konvensional. Data dari asuransi syari’ah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan ekonomi syari’ah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen.

Kendala

Hampir empat belas tahun sudah sejarah asuransi syariah di Indonesia. Bermula dari pergerakan dua perusahaan asuransi syariah, selam sembilan tahun sesudahnya tidak ada pergerakan yang berarti. Tetapi ketika dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2003 tentang Perizinan bagi Pembukaan Perusahaan Asuransi dan Unit Usaha Syari’ah dari Perusahaan Konvensional, asuransi syari’ah di Indonesia mulai mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan hingga sekarang.

Perkembangan pasca-KMK 2003, dalam waktu empat tahun saja lahir 40 perusahaan asuransi syari’ah. Artinya hampir setiap bulan ada satu unit usaha syari’ah yang diluncurkan. Besaran modal yang dipersyaratkan bagi sebuah unit usaha syari’ah sangat rendah, Rp. 2 miliar saja, dan mendapat izin dalam waktu yang relatif singkat, sekitar tiga bulan sejak pertama kali diajukan. Disatu sisi kemudahan ini memberi dampak yang baik terhadap pertumbuhan asuransi syari’ah, tetapi memiliki dampak yang negative dimana tidak terjadinya seleksi dalam tahap perizinan, terutama seleksi terhadap komitmen pemegang saham untuk sungguh-sungguh terjun dalam industri ini. Sehingga berdampak pada tidak dicurahkannya sumber daya yang memadai bagi unit yang baru mereka miliki.

Selain itu, kendala yang dihadapi perusahaan asuransi syari’ah di Indonesia adalah dari faktor minimnya regulasi yang ada. Minimnya regulasi berdampak pada lebarnya ketidakpastian dalam berusaha. Ini yang membuat investor masih belum berani mengucurkan modal yang besar dan sumber daya lainnya. Satu hal lagi yang membuat regulasi menjadi prioritas utama, adalah fakta bahwa asuransi syari’ah beroperasi diatas konsep dasar yang berbeda dengan asuransi konvensional. Asuransi syari’ah menggunakan konsep risk sharing (berbagi resiko antar peserta), sementara asuransi konvensional memakai konsep risk transfer (memindahkan resiko pada perusahaan asuransi). Memaksa menetapkan regulasi konvensional tidak akan cocok untuk asuransi syari’ah meski unutk sementara waktu. Karena hanya akan menimbulkan kerancuan dan kontradiksi.

Dari segi permodalan, asuransi syari’ah di Indonesia masih sangat minim. Agar perusahaan dapat survive perusahaan asuransi mebutuhkan modal sekitar 50 miliar, tetapi idealnya dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 110 miliar. Selain itu, walaupun banyak manfaat yang diberikan perusahaan asuransi syari’ah, tetapi budaya berasuransi masyarakat masih minim, dilatarabelakangi dari minimnya pula promosi yang dilakukan perusahaan. (Seperti yang diungkapkan Sugeng Sudibyo, Kepala Divisi Syari’ah, PT. Bringin Life).

Ketua Islamic Insurance Society (IIS) Syakir Sula mengatakan saat ini sudah terdapat hampir 200 perusahaan syari’ah yang berkembang di seluruh dunia, terutama di Eropa, Amerika SErikat, Australia, dan Jepang. Negara-negara modern tersebut lebih menyukai konsep syari’ah karena lebih menguntungkan, lebih banyak variasi, tidak akan pernak terkena negative spread, aman, serta beresiko rendah karena didasarkan pada konsep risk sharing. Bisnis asuransi syari’ah di Negara maju tersebut langsung berskala besar dan maju lebih pesat, hal ini karena didorong faktor; secara bisnis mereka lebih dulu ada, mempunyai teknologi yang mapan, dan besaran permodalan yang memadai.

Sedangkan perkembangan asuransi syari’ah dinegara mayoritas Muslim kurang berkembang, karena minimnya pengetahuan. Di Saudi Arabia masih ada perdebatan mengenai asuransi jiwa. Mereka menganggap di zaman Nabi konsep seperti itu tidak ada. Mereka juga masih mengacu pada al-Quran, dimana pengetahuan asuransi syari’ah dalam bahasa Arab masih sangat minim. Mereka masih ragu mengenai unsur gharar, riba, maisir dalam asuransi syari’ah. (Syakir Sula, Ketua Islamic Insurance Society (IIS))

Selain kendala diatas, masih terdapat kendala lain yang masih menjadi wacana pada tahun 2008 ini, yaitu:

· Peraturan tahun 2008 yang menyebutkan “Lisensi agen perusahaan asuransi harus berstatus penuh (sertifikasi agen)”. Dalam setiap perusahaan asuransi seorang agen baru bisa memasarkan produk asuransi jika dia telah memiliki sertifikasi penuh. Dimana ujian lisensi untuk sertifikasi agen asuransi dikanakan biaya Rp. 350.000/agen.

· Penundaan Penerbitan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi Asuransi Syari’ah yang seharusnya terbit pada akhir 2007. PSAK tersebut sangat dibutuhkan sebagai acuan standar pelaporan keuangan asuransi syariah, sehingga nasabah mudah membaca dan mengetahui perkembangan keuangan perusahaan asuransi terkait. Karena standar akuntansi asuransi syari’ah yang digunakan sekarang, berdasarkan Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institution (AAOIFI), tidak lengkap. Standar AAOIFI memang mengatur asuransi syari’ah tetapi lebih banyak untuk Perbankan Syari’ah.

Sedangkan hambatan pengembangan asuransi syari’ah di Indonesia, dari sisi mekanisme operasional yaitu:

· Instrumen tidak dikenal masyarakat luas

· Anggapan masyarakat Indonesia tentang pengurusan klaim asuransi yang menyulitkan

· Instrumen asuransi masih kalah bersaing dengan instrumen investasi seperti surat berharga

· Asuransi syari’ah belum tersosialisasikan luas seperti perbankan syari’ah.

Strategi Pengembangan

· Strategi pengembangan perusahaan asuransi syari’ah akan berkembang baik jka membidik pasar variety seeking behavior, yaitu kelompok yang biasa membeli produk link, usia antara 35-55 tahun, memiliki cash flow sendiri dan tertarik pada investasi. Jadi, jangan hanya bermain pada pasar loyalis (Conventional Loyalist dan Sharia Loyalist) dan young ethical (kelompok yang tidak terlalu fokus pada pendapatan investasi, namun cukup semangat pada pengembangan asuransi syari’ah). (Ir. H. Adiwarman A. Karim SE, MBA, Presdir Karim Business Consulting)

· Perkembangan asuransi syari’ah bergantung pada tiga hal. Pertama, pilihan individu. Kedua, keaktifan pemain asuransi syari’ah. Ketiga, dukungan dari pemerintah sebagai regulator untuk kesediaan aturan berbasis syari’ah. (Syahrir Hamzah, Presiden Direktur Asuransi Tugu). Jka terdapat kombinasi yang baik dari ketiga faktor tersebut maka asuransi syari’ah dapat berkembang dengan baik.

Peluang Pengembangan Asuransi Syari’ah di Indonesia

· Asuransi syari’ah merupakan alternative pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam.

· Perkembangan Perbankan Islam menuntut peranan asuransi syari’ah untuk pengamanan asset dan transaksi perbankan.

· Beberapa kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan Asuransi Syari’ah adalah ditetapkannya kewajiban agar asuransi haji dikelola oleh perusahaan asuransi syari’ah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, 2004, Jakarta: Prenada Media

FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 21/DSN-MUI/X/2001 TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH


\



by 4215 AR